Intoleransi Laktosa (Lactose Intolerance) dan Peran Enzim Laktase pada Manusia

Minum-Susu-Sapi-Memicu-Kanker
Source : google image

Perkembangan zaman dan kemudahan akses melalui teknologi internet memang mendatangkan berbagai keuntungan dan mempermudah manusia dalam mengakses informasi. Namun, akses teknologi ternyata juga mengantarkan dan mempermudah informasi tidak valid diterima dan menjadi konsumsi masyarakat. Seperti halnya berita yang saat ini yang lumayan viral menjadi konsumsi publik, mengenai anjuran untuk menghindari susu sapi karena susu sapi mengandung laktosa. Dikatakan, tubuh manusia tidak memiliki enzim untuk mencerna laktosa tersebut. Nah, apakah informasi ini benar? Mari kita mengulasnya bersama mengenai intoleransi laktosa.

Laktosa merupakan disakarida yang disusun oleh glukosa dan galaktosa. Pada umumnya, laktosa dikenal sebagai gula susu karena karbohidrat ini ditemukan di dalam susu. Menurut Madry et al. (2010), laktosa (gula susu) adalah nutrisi utama dalam susu mamalia yang merupakan sumber karbohidrat utama selama periode neonatal. Laktosa disintesis oleh laktosa sintetase secara eksklusif di kelenjar susu hampir semua mamalia plasental (kecuali singa laut) selama kehamilan dan laktasi akhir. Nah, semua susu mengandung laktosa ya… bahkan pada ASI pun terkandung laktosa sebagai gula susu.

Memang benar bahwa laktosa tidak dapat diserap secara alami oleh tubuh. Namun, hal ini bukan berarti laktosa tidak dapat dicerna.

Dalam proses metabolisme gula, tubuh kita membutuhkan enzim untuk memecah laktosa menjadi dua partikel yang lebih kecil yaitu glukosa dan galaktosa. Molekul-molekul gula yang lebih kecil lebih mudah diserap oleh sel-sel di usus. Proses penyerapan laktosa di dalam tubuh (usus) terjadi dengan bantuan enzim laktase. Enzim laktase dihasilkan oleh sel-sel dinding usus halus (enterosit). Laktase marupakan protein yang bertindak sebagai enzim yang membantu mempercepat proses biologis tubuh. Tanpa laktase, laktosa tetap dalam saluran pencernaan dan tidak dapat digunakan oleh tubuh serta menyebabkan gangguan metabolisme tertentu.

Jadi sudah clear ya… pada manusia normal, tentu saja laktosa dapat diserap karena manusia juga menghasilkan enzim laktase di dalam tubuhnya 🙂

Lalu, apakah ada manusia yang tidak dapat atau kesulitan mencerna laktosa? ada… Beberapa orang tidak dapat menghasilkan cukup laktase untuk memenuhi kebutuhan tubuh mereka bahkan ada pula yang sama sekali tidak dapat memproduksi enzim laktase. Pasien-pasien ini dikatakan menderita defisiensi laktase dan intoleransi laktosa.

Defisiensi laktase adalah kondisi dimana tubuh kita kekurangan enzim laktase. Hal ini dapat disebabkan sebagai akibat sekunder dari penderita diare. Kekurangan laktase menyebabkan tubuh kita tidak dapat mencerna dan menyerap semua laktosa (bisa dari susu, dari keju atau sumber lainnya) yang masuk ke dalam tubuh.

Intoleransi laktosa (lactose Intolerance) adalah kondisi dimana seseorang memiliki permasalahan kegagalan pembentukan enzim laktase. Gen yang bertanggung jawab untuk mengatur produksi laktase disebut gen LCT dan terletak pada kromosom. Kerusakan gen ini dapat menyebabkan produksi laktase tidak tepat atau tidak berfungsi. 

Gejala defisiensi laktase terlihat setelah 30 menit sampai 2 jam setelah minum susu atau produk susu lainnya. Gejala termasuk kram perut, perut kembung, mual dan diare. Dosis yang lebih besar dari produk susu sering menimbulkan gejala yang lebih parah. Kelahiran prematur, operasi usus, penyakit usus dan infeksi usus merupakan faktor-faktor risiko yang mungkin terjadinya intoleransi laktosa.

Yohmi et al. (2001) menyatakan defisiensi laktase dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu defisiensi laktase primer dan defisiensi laktase sekunder. Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu :

  1. Developmental lactase deficiency, terdapat pada bayi prematur dengan usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan ini terjadi karena aktivitas laktase belum optimal.
  2. Congenital lactase deficiency, kelainan dasarnya adalah tidak terdapatnya enzim laktase pada brush border epitel usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup.
  3. Genetical lactase deficiency, kelainan ini timbul secara perlahan-lahan sejak anak berusia 2-5 tahun hingga dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras yang tidak mengkonsumsi susu secara rutin dan diturunkan secara autosomal resesif.

Defisiensi laktase sekunder terjadi akibat faktor lain, yaitu konsumsi obat dan penyakit tertentu. Contohnya penyakit gastrointestinal yang menyebabkan kerusakan mukosa usus halus, seperti infeksi saluran cerna, malnutrisi dan lain-lainnya. Gangguan ini umumnya bersifat sementara dan aktivitas laktase akan normal kembali setelah penyakit tersebut sembuh (Boediarto, 2000).

Penanganan yang tepat untuk penderita defisiensi dan intoleransi laktosa yang tepat perlu dilakukan untuk meminimalisasi akibat yang ditimbulkan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah dengan konsumsi enzim laktase secara oral maupun suntik. Hal ini dilakukan, karena susu merupakan sumber kalsium yang tinggi dan baik untuk dikonsumsi. Selain itu, pada insiden diare anak-anak juga disarankan untuk mengkonsumsi susu yang rendah laktosa atau bebas laktosa sehingga recovery vili usus lebih cepat dan nutrisi tubuh tetap terpenuhi. Mengapa demikian? Simak diagram berikut.

diare intoleransi laktosa

Penjelasannya begini, ketika kita mengalami diare, terutama anak-anak, salah satu penyebab diare adalah infeksi rotavirus yang menyebabkan kerusakan mukosa, penumpulan dan pemendekan vili serta kematian sel sehingga sekresi enzim disakaridase (terutama laktase) berkurang. Laktosa yang tidak terserap karena penurunan enzim laktase merupakan bahan osmotik aktif yang menyebabkan diare osmotik yang menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit seperti natrium, kalium, dan klorida. Selain itu, laktosa akan difermentasi bakteri sehingga menghasilkan asam laktat dan gas. Pada keadaan tersebut, anak harus mendapatkan nutrisi untuk memenuhi kebutuhannya. Pemberian formula bebas laktosa dapat membantu memenuhi kebutuhan nutrisi anak, beberapa susu bebas laktosa juga mengandung zinc dan nukleotida untuk menunjang regenerasi sel-sel vili usus lebih cepat sehingga laktase kembali diproduksi.

Penelitian yang dilakukan oleh Simakachorn et al. (2004) di Thailand menyebutkan bahwa susu formula bebas laktosa memberikan hasil yang lebih baik dalam pengelolaan diet diare akut dibandingkan dengan susu formula yang mengandung laktosa. Xu JH and Huang Y (2002) di China menjelaskan bahwa formula bebas laktosa dapat memperpendek durasi sakit dan meningkatkan hasil terapi pada bayi dengan diare akut. Penelitian-penelitian mengenai susu bebas laktosa sudah banyak dilakukan di Indonesia.

penelitian laktosa
Source : Aminah, 2012

Selain itu, penggunaan susu fermentasi (yogurt) yang berasal dari fermentasi bakteri Lactobacillus bulgarius dan Streptococcus thermophilus yang mengandung enzim b-galaktosidase sangat bermanfaat bagi penderita intoleransi laktosa (Donan et al., 1998).  Sedangkan penggunaan probiotik yang mengandung Lactobacillus acidophilus dan bifidobacteriae menghasilkan aktivitas laktase 4 kali lebih tinggi dibanding dengan yogurt (Vessa et al., 1996). Nah… jadi bagi teman-teman yang mengalami intoleransi laktosa, tidak perlu khawatir untuk mengkonsumsi yoghurt, sekalipun yoghurt merupakan produk turunan susu. Selayang pandang, di beberapa negara juga tersedua Susu Laktosa-terhidrolisis (LH) yang merupakan salah satu pilihan bagi penderita intoleransi laktosa. LH diproduksi dengan menghidrolisis laktosa dalam susu menjadi glukosa dan  galaktosa dengan bantuan enzim laktase. Kalau di Indonesia ada tidak ya?

Nah, dari ulasan ini dapat kita tarik kesimpulan, bahwa mengkonsumsi susu sapi yang mengandung laktosa tidak berbahaya. Meskipun beberapa orang mengalami intoleransi laktosa dan defisiensi laktase, bukan berarti kita dapat mengeneralisir manusia tidak dapat mencerna laktosa sehingga harus menghindari susu sapi. Susu sapi sehat dikonsumsi sebagai pemenuh nutrien untuk tubuh selama konsumsinya tidak berlebihan. Semoga kita semua semakin bijak dalam menghadapi sebuah informasi, sebelum menyebarluaskannya, pastikan informasi tersebut terbukti secara ilmiah.

Melia Nasution, S.Pt., M.Pt.


Daftar Pustaka

Aminah, S. (2012). Pengaruh Susu bebas Laktosa terhadap Masa Perawatan Pasien Anak dengan Diare Akut Dehidrasi Tidak Berat. Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah Universitas Diponegoro, pp. 1–87.

Boediarso A. Sakit perut berulang. Dalam: Muhyi R, Abumanyu, Soefyani. 2000/ Naskah Lengkap Simposium Nasional Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. Banjarmasin.. h. 59-70.

Donan CG, Chabanet C, Pedone Ch. 1998. Milk-fermented with yogurt cultures and Lactobacillus casei compared with yogurt and gelled milk: influence on intestinal microflora in healthy infants. Am J Clin Nutr; 67: 111-7.

Madry, E., Fidler, E., & Walkowiak, J. (2010). Lactose Intolerance – Current State of Knowledge. Acta Sci. Pol., Technol. Aliment., 9(3), 343–350.

Simakachorn N, Tongpenyai Y, Tongtan O, Varavithya W. Randomized, double-blind clinical trial of a lactose-free and a lactose-containing in dietary management of acute childhood diarrhea. 2004. Int J Med Assoc Thai. 87(6):641-9.

Vessa TH, Marteau Ph, Zidi S, Rambaud JC. 1996. Digestion and tolerance of lactose from yogurt and different semisolid fermented dairy products containing Lactobacillus acidophilus and bifidobacteria in lactose maldigester- Is bacterial lactase important? Eur J Clin Nutr ; 50: 730-3.

Yohmi, E., Boediarso, A. D., Hegar, B., Dwipurwantoro, P. G., & Firmansyah, A. (2001). Intoleransi Laktosa pada Anak dengan Nyeri Perut Berulang. Sari Pediatri, 2(4), 198–204.


Note:

Tulisan ini merupakan media belajar dan berbagi ilmu. Saya sangat terbuka apabila ada tambahan atau koreksi apabila ada informasi yang kurang tepat. Terima kasih.