“I hate you.
But I hate myself more.”
Seseorang di masa lampau pernah menuliskan sebuah ungkapan.
Terimakasih sudah menghibur lalu kabur.
Terimakasih sudah ada lalu tiada.
Kamu tersesat, dengan hutan yang kau ciptakan sendiri.
Kamu terus berjalan semakin dalam, berlari melampiaskan beban.
Kamu pikir, tak apalah kau susuri hutan, itu lebih baik daripada menyelami kesepian.
Kamu tak sadar, kamu semakin dalam dan terperangkap.
Hutan bukan pantai yang memeluk lautmu erat..
Disini gelap, kesunyiannya membawamu semakin dalam. Hingga tak ada lagi suara yang kau dapati selain sendirinya sunyi.
Dan dia yang memancingmu kemari, sama sekali tak nampak. Kau sendiri bukan? Dan kau tak berhak memintanya kembali atau menolongmu.
Merasakan perasaan seperti ini ternyata tidak lebih mudah daripada menjalaninya sendiri.
Bukankah kau sudah kuat berdiri di atas kakimu saat itu?
Mengapa kau melemahkan kakimu, membiarkan korek api yanh begitu kecil menopangmu?
Apa kamu gila?
Apa yang ada di pikiranmu?
Pertahananmu payah. Setelah sekian tahun, kau sendiri membuatnya menjadi remeh temeh belaka.
You bringing down yourself. Perfectly!!
Dasar bodoh.
Kini apa yang harus kau lalui jauh daripada apa yang kau hindari.
Kau berusaha lari dari api untuk masuk ke lautan api.
Kau berusaha memejamkan perih untuk merasakan pedih.
Apa kau ini?
Bangun.
Gunakan kedua kakimu.
Berdiri. Seiring dengan akhir tulisan ini. Lupakan rindumu.
Rindumu itu bodoh. Kebodohan yang utuh dan begitu sempurna tanpa cela.
Kau merindukan kesunyian. Kekosongan dari sebuah permainan.
Getting back to your own rail. And remember who you are. Remember how strong you are.