kamu, KOPI

 

foto-manfaat-minum-kopi-untuk-kesehatan-hati

Kehidupan terkadang meminta kita untuk mengerti. Salah satunya mengerti dan memahami hakikat sesuatu hal, sehingga kita bisa memperlakukannya dengan baik dan sesuai dengan kadarnya. Banyak orang yang tidak memahami dan tidak mengerti, bahwasannya :

“Meminum kopi mentah-mentah akan selalu pahit meskipun kita mengulangnya 1000 kali sekalipun.”

Ya, terkadang kita lupa, bahwa rasa kopi bukanlah batu. Cerita tentang kopi ini sedikit berbeda dengan cerita batu yang akan berlubang apabila ditetesi air menahun. Batu memang akan berlubang oleh waktu meskipun hanya air yang menyebabkannya. Tetapi rasa kopi ? ia akan tetap pahit meskipun 1000 kali kita mengulang meminumnya mentah-mentah.

Begitulah hal yang aku rasakan sekarang. Nampaknya ia bukan seperti batu yang keras. Tetapi ia adalah kopi yang pahit. Aku harus berusaha sendiri untuk menambahkan gula, menambahkan susu, atau krim untuk mengurangi kepahitannya. Ya, harus aku. Karena kopi takkan mencari gula atau semacamnya dengan sendirinya. Benar saja, semua ini berjalan begitu lama dengan segala kelegaan hatiku melepaskan rasa kecewa dan memulainya dengan rasa kasih kembali. Seperti halnya kopi, 1000 kalipun aku mencobanya kembali, sejatinya rasa pahit kopi itu tak pernah menghilang, hanya tersembunyi sementara dengan apa yang aku lakukan.

Catatan tentang kopi ini sesungguhnya mencari sebuah titik pengakhiran. Kadang aku merasa terlalu kuat untuk menghapus rasa letih begitu mudahnya hanya karena tertipu wajah melas yang dibaliknya tersimpan jiwa yang teramat tega. Bagaimana bisa ? dunia ini memang sandiwara. Wajar saja jika terkadang air mata harus menjadi topeng dan penghias agar kehidupan berjalan seperti apa yang kita inginkan.

Catatan ini, bukan bentuk sarkasme atau keangkuhan atas luka yang ada. Saya tidak bahagia. Saya terluka, dan saya sakit oleh karenanya. Mungkin dengan menuliskan demikian, rasa pedih itu bisa memudar seiring dengan tertulisnya beberapa huruf yang terangkai disini.

“Saya letih. Saya menginginkan seorang pria yang baik, yang akan menghargai saya, yang akan memahami dan ikut mencemaskan saya, ketika saya cemas menunggu, ketika saya menghabiskan malam dengan menunggu kabar. Maka ia akan mengabari saya secepat ia bisa dan tak lalai akan itu, karena dia tahu dan mengerti, bagaimana rasanya begitu mencintai dan bagaimana cara merawat cinta itu.”

Saya ingin menanam bunga tulip. Bukan meliarkan rumput. Saya sudah letih dengan segala ketegaan yang dipersembahkan, dan segala drama kepura-puraan seakan tak terjadi apa-apa.

13 – 5 – 2014

a tribute of my perspective.

DUA

false-vie-spirituali

Aku menepi, sepanjang perjalanan ini baru ku rasakan lelah yang berarti.

Seperti tak memahami, dan tak mengenali.

Apa yang menjadi mauku, dan apa tunai wajibku.

Jika di depan sana ada 2 sisi, bolehkan aku kembali ?

Andaikan aku bisa kembali, di jalan yang sebelumnya ku tapaki.

Ingin ku bertanya kepada diri ini,

“Apakah yakin?”

Sekali lagi aku ingin memilih… jika saat ini aku tak ingin memilih.

Ternyata kebahagiaan itu ada, dan bisa dirasakan.

Begitupula kesedihan, kekeliruan, dan kekecewaan.

Sekali lagi ingin ku raih rasa syukur yang beterbangan dari sanubari.

Sekali lagi, ingin ku menjadi pribadi yang teguh akan pilihan hati.

Namun, apakah memang kegagalan adalah kejadian yang mungkin terjadi?

Apakah ketika kita gagal, kita tidak berhak memilih kembali?

Haruskah aku terus berjalan, pada jalan yang tak ku ingini?

Mereka berkata hidup hanya sekali.

Karena hanya sekali…

Seseorang mengikhlaskan kebahagiaannya karena akhirnya kita akan mati.

Seorang yang lain, karena hanya sekali ia mengejar kebahagiaannya dengan gagah berani.

Aku mungkin tersenyum,

dan hanya bisa mengingat kenangan yang perlahan merengkuh ringkihnya malam ini.

HAI DIRI !!!

apa maumu ??

bukankah telah kau pilih pilihan hidupmu…

kau abai…

kau abai pada yang begitu penyayang dan penuh kelembutan

kau abai pada yang memahami perspektifmu dalam memiliki

kau abai pada yang mau memahami konsep kehidupanmu

kau abai pada yang kesetiaan yang menunggu

kau sendiri yang abai…

apa kau berpikir rasa penasaran bisa membahagiakanmu di kemudian hari?

kau telah abai.

dan akuilah.

Ya.

Mungkin demikian.

Lalu apakah tak ada kesempatan bagiku untuk memperbaiki ?

Membahagiakan kehidupanku yang hanya sekali…

Melepaskan pelukan-pelukan penyesalan diri.

Tak bisakah aku memilih ?

Mengapa aku enggan memilih.

Mengapa aku begitu memikirkan mereka.

dan kedua kalinya aku abai.

DUA…

Saat aku mulai memahami perasaan yang sebelumnya ku tentang.

Saat aku mulai berdamai mengerti orang-orang yang bertindak tak sesuai aturan.

Kini aku memahaminya…

Manusiawi, jika manusia ingin berbahagia.

Bukan salah mereka…

Siapa aku hingga berhak mempersalahkan?

Aku tak memahami, tak merasakan…

Berat dalam batinnya.

Bukan aku mengingkari…

Ah sudah,

Mengapa aku mencari pembenaran diri?

Aku yang abai.

Tak perlu mencari kesalahan lainnya.

Aku menghela napas,

kemudian… mulai berjalan kembali.

Semoga Tuhan menyertai.