26

Source : google image

Khotbah itu terus menggulung-gulung dalam ingatanku

Terasa jelas terus diulang, diperdengarkan oleh kedua indra dengarku

Tak ada lain selain kata yang menyedihkan,

Terasa menusuk gendang telinga

Menembus segala halangan

Mencapai relung dengan cepatnya.

Anak ini semakin liar bertumbuh dalam aliran darahku.

Menghitamkan yang merah…

Memekatkannya…

Sekaligus mengeraskannya.

Hina dan rendahan adalah sepasang kekuatan.

Yang mampu meruntuhkan.

Menjatuhkan…

Meluruhkan segala.

Tak ada cara lain selain menyapihnya.

Sesegera mungkin.

Karena aku ingin ia lepas dariku…

Dari relung jantungku…

Segetiga dalam Senja – Sebuah kisah tentang titik pandanganmu

Ps. It isn’t my own paint

Malam ini Atlanna berusaha menutup matanya dengan berat. Ada beban yang sulit dilepas, namun tak lagi kuat untuk dipertahankan. Mari sejenak mengulik hatinya… jika semesta selalu mengatakan orang ketiga adalah yang bersalah. Bersama Atlanna, aku mengenal sudut pandang lainnya… sudut pandang lainnya bukan sudut pandang kebalikannya 🙂


Aku merasa harus meninggalkannya. Kali ini, aku harus bisa.

Aku berusaha menghimpun, alasan yang dapat melampaui nurani dan nalarku. Aku merasa… aku semakin mencintainya, semakin nyaman olehnya. Sedangkan mencintai adalah alasan utama aku akan merasakan sakit hati. Tidak, aku rasa aku harus segera mengakhirinya. Aku harus segera mencari cara.

Entah apa yang akan terjadi di depan sana, namun aku dan Noah memang seharusnya tidak pernah terjadi. Pada waktu sekarang, waktu yang salah.

Tasha yang tak pernah ku kenal.

Sebelumnya aku hanya mendengar nama dan cerita tentangmu, darinya… dan beberapa dari mereka.

Maaf aku menyusup masuk dalam kehidupanmu.

Entah bagaimana awalnya, dan apa alasanku.

Aku mengenal Noah lebih dahulu daripadamu, meskipun Noah berkilah akulah yang ada di hatinya lebih dulu, semesta tahu kaulah yang memilikinya lebih dulu.

Bodohnya aku… yang membiarkan ia memanjakanku dengan segala perhatian dan kasih sayangnya. Membiarkan dia masuk ke dalam kehidupan yang sebelumnya rapat ku kunci.

Lalu aku meminta Noah untuk lebih menomorsatukanku daripadamu. Sungguh seperti kata mereka, aku memang tak berperasaan.

Noah telah mengingkari kesepakatan yang kami buat. Kesepakatan sederhana untuk bersikap.

Aku rasa, sakit ini adalah yang harus ku bayar karena keserakahanku sebelumnya. Aku tak pernah membenarkan sikap Noah.

Dia pecundang.

Aku benci dengan caranya menyakitimu. Aku benci caranya berkhianat. Sepaket dengan ketidakmampuannya mengambil ketegasan sebagai seorang lelaki. Dan ia menunggu ketegasanku, mengorbankanmu untuk dibohongi.

Sha, aku tak pernah menyukai kesepakatan seperti itu. Meskipun aku tak seputih awan… namun, akupun ingin kamu mendapatkan keadilan.

Noah tak mampu melepasmu. Bukan tak mampu, tapi tak mau. Sehingga… biarkan senja membawaku. Meleburku bersama gelap malam… menghitamkan angan-angan yang sempat ku harapkan. Aku tak pantas berharap di atas pengharapanmu.

Atlanna.


Epilog.

a little pieces of Segetiga dalam Senja. Full story akan diunggah di wattpad : melianasution.

Stay tuned!

Titik 0

Hi dude… listen to me…

“If someone broke your heart, it isn’t mean you can broke others heart to revenge your pain.”

Seseorang merasa ia menyakiti perempuan karena ia tak lagi memiliki rasa akibat pernah disakiti perempuan. Ia terus mengenang deritanya yang membuat hatinya sakit dan membenarkan sikapnya yang menyakiti perempuan lain. Benarkah hal tersebut ?

Ketika seseorang menyakiti hatimu, itu tidak menjadikanmu berhak untuk melukai hati orang lain dengan alasan kamu sedang terluka.

Seseorang yang dewasa tidak akan melakukannya. Dirimu yang sakit itu.. berikanlah waktu. Biarkan semesta yang mengeringkan lukanya. Tetapi keputusanmu, bersenang-senang dan menyakiti perempuan lain takkan pernah benar di mata semesta. Jika kamu ingin membalas, maka balaslah pada siapa pesakitan itu diberikan.

Bagiku, merasa baik-baik saja, baik-baik saja untuk kembali membahas untuk mengambil pelajaran di masa lalu merupakan salah satu pertanda bahwa kita telah menerima. Menerima luka yang mungkin pernah dirasakan di masa sebelumnya. Namun, jika kamu masih kerap berlari… tak ingin membahasnya, merasa tidak nyaman mendengarnya… mungkin kamu harus bertanya apda dirimu sekali lagi, apakah kamu baik-baik saja?

Memulai sesuatu yang baru akan lebih baik ketika kita berada di titik 0. Tidak kurang, dan tidak lebih. Tanpa interverensi masa lalu, ataupun tuntutan masa depan yang pincang dari 1 pihak. Kebersamaan adalah sebuah kesepakatan dari 2 orang yang berada di titik 0, merasa memiliki visi yang sama, dan bersama menyusun cara dan langkah untuk mewujudkan cita-cita bersama. Jadi, jika kamu merasa sakit masa lalumu masih harus dikenang… maka kenanglah sepuasmu sebelum memulai yang baru.

Menjadikan pesakitan masa lalu sebagai pembenaran sikap kita menyakiti orang lain adalah tindakan pengecut.

Memastikan seseorang ada di titik 0 merupakan hal yang penting karena awal akan selalu mempengaruhi akhir. Mengawali sesuatu dengan hal baik adalah ikhtiar untuk mendapatkan akhir yang baik pula.

Untukmu yang sakit hatinya, tak perlu merasa merana atau merasa bahwa dunia sekejap akan sirna.

Kamu hanya perlu menerimanya…

Menerima…

Lalu melaluinya.

We can’t  hurry up love…

Biarkan hatimu, jiwamu… menerima dan menyembuhkan lara.

Jangan memaksanya! Atau berusaha menikmati kelembutan dari orang lain hingga kau berakhir menyakitinya.

Pesakitanmu… tak dapat kau jadikan alasan yang benar saat kamu menyakiti orang lain.

Jika kamu seseorang yang tangguh, kamu akan mengakuinya jika kamu membutuhkan waktu.

Hingga saat titik 0 mendatangimu.

 

Si bebal

D2A94384-0957-45D9-A3FF-08107935E934

Kamu ini bebal.

Sulit diatur,

Seenaknya.

Mana telingamu? Apa setumpul nuranimu?

Harus kali keberapa?

Sampai tiba menjemput sadarmu?

Tak usah terus merongrong kesetiaan.

Yang jelas ia tak punya.

Sampai lalai dengan yang di depan mata.

Kesetiaan nyata! bukan harapan belaka.

Tak bersyarat, tak meminta balas.

Persetan dengan tapi-tapi.

Itu nyatanya.

Kamu ini apa?

Tak perlu berlagak jiwamu rapuh jika hatimu sekuat batu.

Tak perlu berlagak tak mampu dalam kekakuanmu.

Malam ini ku tegak kenyataan.

Sampai ingin muntah.

Apa yang ku ingkari, ku sangkal.

Sejauh mana berlari.

Akan kembali.

Menemui hal yang dihindari.

Memang itu nyatanya.

Mengapa harus memperindah yang tak indah.

Bodoh kau,

Menikmati permukaan seolah telah menyelam sangat dalam.

Terbuailah si bebal.

Lalu tersungkur semakin dalam.

Melepas

Penyesalan yang terus menggerogoti raga

Kegagalan pengendalian batin dan jiwa

Seakan mengiringku pada tanya,

Apakah di depan sana, aku mampu untuk menatanya?

Mereka menyeru…

Bahwa takkan ada yang berganti tanpa kita menggantinya.

Takkan ada yang berubah tanpa kita mengubahnya.

Keyakinanku masih naik dan turun.

Selayaknya iman yang bersangkar dalam raga ini.

Sanubari mendamba kehangatan dan kebahagiaan

Sedang raga enggan memutus dan terlibat kecemasan

Sampai kapan?

Tak letih aku menanyainya…

Namun, tak jua ku mampu menjawabnya.

Semua hanya beputar.

Di tempat semula.

Tak berubah, dan tak bergeser…

Tak terlepas.