Dedicated to M.A.R.


Mengingat tentangmu… selalu membuatku tersenyum dengan sendirinya.
Jika ada tanya bagaimana mencintai dengan sempurna, maka dirimu adalah jawabannya.

Terima kasih pernah menjadi ayah, kakak, sekaligus pasangan di waktu yang sama.
24/7 selalu ada, untuk remaja tanggung disana.

Kehadiranmu selalu membawa harap,
Bahwa tak perlu menjadi sempurna untuk pantas dicinta…
Penerimaanmu selalu menjadi lentera,
Bahwa redup tak akan selamanya…

Tak terhitung berapa waktu aku membuatmu meneteskan air mata.
Ya, kau begitu ada hingga aku lalai.
Kau selalu siaga sebelum aku sadar aku membutuhkannya…

Hati ini pernah menjadi ruang hampa…
Saat ku sadar, dirimulah yang mampu…
Mencintai dan menerima sebegitu hebatnya.
Tapi yang ku dapatkan hanya kabar, dan melihatmu terbujur kaku selamanya.

Butuh waktu untuk berdamai dengan penyesalan.
Kehilangan seseorang yang pernah kita siakan.
Menyadari adamu, setelah aku terbuang sia-sia…
Saat aku mulai mencari… keberadaanmu…
Berusaha memperbaiki, dan yakin denganmu aku akan berbahagia…
Harus ku dapati inginku tak seperti ingin semesta.
Hatimu yang indah telah beristirahat selamanya.
Hal yang paling menyakitkan untukku adalah aku pernah menjadi si tak percaya saat kau menahanku untuk bertahan…
Ditinggalkan olehmu adalah ganjaran yang pantas untuk segala perilaku abai dan tidak penuh syukur yang pernah ku lakukan.

Berbulan-bulan setelah itu.
Aku pun masih saja menyiksamu dengan tangisanku yang tak kunjung usai.
Aku bertanya dengan penuh keegoisanku,
Apakah akan ku temui selanjutnya yang sepertimu?
Yang mencintaiku apa adanya,
Dan bahagiaku adalah segalanya…

Bermalam-malam kau selalu menemaniku dalam mimpi…
Meneteskan air mata.
“Aku tak lagi mencintaimu…” katamu.
Membuat hatiku begitu kelu, tapi aku pantas mendengarnya.
“Karena aku telah mati.” Lanjutmu, dengan air mata.
“Jika aku masih disana, mungkin aku masih mencintaimu. Tapi kita… telah berpisah dunia. Jangan menangis lagi… suatu saat akan kau temui seseorang yang bisa membahagiakanmu.”

Tangisanku kembali pecah.
Rasanya ingin berteriak mengapa…
Tapi hatinya begitu baik, hingga Tuhan begitu menginginkannya…

Ku seret diriku untuk melanjutkan kehidupan.
Berhenti menyiksamu dengan segala penyesalan.
Ada sebuah ruang di hatiku yang takkan pernah tergantikan, untukmu… yang selalu ada dalam doa.

• ♡ •

Sebuah kilas balik darinya yang datang.
Setelah bertahun-tahun hilang,
Hadir dalam mimpi semalam.

Tujuan dan Pengakhiran

Tujuan. 
apakah aku memilikinya?
dimanakah tujuan itu?
apakah kini aku sedang mengarungi samudera lepas tanpa tujuan?
mendayung seorang diri... 
image source : velascoindonesia.com

Semakin aku mendekatinya, rasa ngilu ini kian datang menyerang. Akupun tak mungkin bergerak menjauh karena ia adalah tempatku pulang. Seharusnya. Aku kira, ia akan menjadi rumah yang meneduhkan. Rumah yang pertama dan terakhir, tempatku menua dan berbagi keadaan. Hidup adalah tentang menghadapi apa yang terjadi. Masa depan memang sebuah rahasia yang sulit untuk diperediksi. Lalu? Aku pun harus berdamai, jika apa yang ku ingini… tak seperti apa yang terjadi.

Seorang diri. 
Apakah kamu bahagia?
Kamu ingin apa? 
Bagaimana harimu hari ini? 
Apakah berat? Tenang saja... 
kita akan hadapi bersama.
- Begitulah aku, dan aku yang lain.

Mereka kerap mencaciku seolah aku ingin sendiri. Mereka pula terlalu mudah menyimpulkan kehidupan yang tidak mereka jalani. Seperti mudahnya aku menyimpulkan begitu teganya mereka meringkas perasaan dan maksudku hanya dengan sudut pandang mereka sendiri. Ironi.

Terkadang, aku merasa sangat lelah. 
Hingga ingin mati saja.
Tapi aku selalu berkata, 
surga tak menunggumu.
Juga berkata, 
kamu adalah seseorang yang penuh semangat untuk menggapai kebahagiaanmu.

Aku tersenyum kecut. Kadang kehidupan mampu mengubah seseorang. Kadang pesakitan demi pesakitan tak selalu membuat seseorang lebih kuat. Akui saja kerapuhan itu, dengan berdamai dengannya… sejatinya kamu akan melangkah lebih kuat dari sebelumnya.

Selalu ada harapan yang lahir setelah harapan lain terbunuh oleh pembunuh yang sama. 
Jiwa yang bertumbuh dengan harap seringkali menjadi sebab seseorang terjebak dalam kegagalan mengambil keputusan. 
Kamu selalu berharap, pada sesuatu yang akhirnya selalu sama saja. 
Sebetulnya, kamu menumbuhkan harap atau sengaja membangkaikan mereka semua?

Kita hidup bukan untuk mengulang sebuah kesalahan yang sama. Kesalahan mengambil keputusan tentu saja akan menghantui masa depan. Akankah aku benar kali ini? Ataukah aku? aku? aku?

Manusia.
tubuhmu memang sarang ternyaman sebuah keegoisan.
hal paling menyedihkan terjadi daripadamu...
ketika kamu merasa selalu benar... selalu...
ketika kamu merasa benar meski berdusta...
ketika kamu merasa benar meski berkhianat....
ketika kamu merasa benar meski kamu... kamu... kamu...
nyatanya, sebuah dosa bisa menjadi tidak dengan keegoisanmu.
sebuah pahala menjadi hal yang berlebihan untuk dilakukan dengan keegoisanmu.
hatimu itu telah penuh dengan dirimu.
lantas, untuk apa memelihara orang lain lagi?
untuk menyimak bahwa kehidupanmu selalu benar dan benar...
karena pengakuan dosamu... selalu bersamaan dengan TAPI. 

Harus bagaimana lagi… aku menghadapinya, rasanya aku telah meronta dan berteriak sekuat tenaga. tak satupun mendengar teriakan… rontaan… tak ku pinta belas kasih dari kalian karena nyatanya memang tiada.

Akan ku dayung perahu kecil ini sampai akhir… kebocorannya telah dimana-mana…. tanganku yang dua ini tak lagi sanggup menambalnya bersamaan… sementara penumpang lain tertawa-tawa tak apa. Ku dayung perahu kecil ini sampai karam dengan sendirinya… lalu, biarkan aku menyelami samudera yang dingin dan dalam… air perlahan masuk ke tubuhku… memenuhi rongga dadaku… ah, rasanya sesak sekali. Lebih sesak dari tangis-tangisku bertahun-tahun ini… Hingga mata terpejam, dan nyatanya… mungkin itu adalah pengakhiran dari perjalanan ini.

Pembunuh

Hidup yang pernah sangat aku inginkan…

Hidup yang pernah sangat aku kagumi…

Hidup yang dulu ku rangkai perlahan…

Penuh harap… penuh gempita… penuh… penuh… hingga rasanya waktu terlalu singkat untuk menjadikannya nyata.

Lalu siapakah pembunuhnya?

Hingga harap yang pernah tergantung itu tumbang satu per satu.

Menjadi bangkai yang menanti menyatu bersama tanah.

Seperti empunya.

26

Source : google image

Khotbah itu terus menggulung-gulung dalam ingatanku

Terasa jelas terus diulang, diperdengarkan oleh kedua indra dengarku

Tak ada lain selain kata yang menyedihkan,

Terasa menusuk gendang telinga

Menembus segala halangan

Mencapai relung dengan cepatnya.

Anak ini semakin liar bertumbuh dalam aliran darahku.

Menghitamkan yang merah…

Memekatkannya…

Sekaligus mengeraskannya.

Hina dan rendahan adalah sepasang kekuatan.

Yang mampu meruntuhkan.

Menjatuhkan…

Meluruhkan segala.

Tak ada cara lain selain menyapihnya.

Sesegera mungkin.

Karena aku ingin ia lepas dariku…

Dari relung jantungku…

Mimpi

images-53

 

Aku terbangun saat terik hari ini …

Mulai membuka mata dan berusaha mengingat perca-perca mimpi dini hari

Kenangan merengkuhku erat seperti telah kembali

Bunga mimpi membawamu … sepaket dengan bahagia dan luka yang ada dahulu

Aku tertegun bimbang dalam mimpiku tak ubahnya seperti nyataku

Menggenangkan air mata dalam sayu mataku

Merasakan getir luka perpisahan dulu, dan bahagia kembali bertemu sosokmu

“Akankah kau kembali?”

“Nyatakah ini?”

“Sungguhkah Tuhan merubah keadaan?”

Dalam potongan mimpi itu…

Aku mendapatimu yang telah lama berlalu, kembali mencari keberadaanku

Merindukan kebersamaan, meski dipeluk erat ketidakmungkinan

Sejenak aku terbangun,

Dan segera ku lelapkan tidurku kembali

Agar aku dapat menggapaimu

Di lain waktu

Meskipun dalam mimpi

Namun, terik telah menjemput

Kini ku rengkuh penuh sadarku

Tanpa ku temui lagi dirimu dalam mimpiku

Ya, sepertinya kau memang telah berlalu.