Suara Hati Atlanna – Antara aku dan dia, tanpanya

Source : google image search

Kini… saatnya aku betul-betul menyapih perasaan yang tak seharusnya ku utarakan. Jika waktu bisa diulang, takkan ku nodai kepedulianku padamu. Jika memang merasa mengasihimu adalah sebuah anugerah, seharusnya aku cukup menyimpannya.

Aku berhenti menghinakan dan merendahkan diriku dihadapanmu. Berharap pada manusia hanya akan membuatku terus terjatuh dan terseret. Berharap pada manusia hanya membuatku terus kecewa dan menangis.

Aku dihadapkan pada realita,

Apakah aku bahagia?

Ternyata tidak.

Kamu adalah semu yang ku pelihara dalam alam bawah sadarku. Kamu adalah harapan yang ku pintal dari serpihan asa tersisa… Ya, kamu adalah harapan yang muncul atas kekecewaanku. Sehingga aku begitu bernafsu menjadikanmu tumpuanku, harapanku, segalanya dalam hidupku. Pesakitanku, ku labuhkan pada dermagamu, berharap kamu menimangnya dengan kelembutan, menjahit robekan penuh perasaan. Namun ternyata semua hanyalah semu yang ku asuh hingga ia mampu menikamku…

Ya… melukaiku…

Dewasalah…” hanyalah kata dibalik garangnya tombak yang tak henti menghujam tubuhku yang lebam. Ia betul-betul tak berbelas kasih. Meski nampaknya ia begitu lembut dan penuh kepedulian. Berkali-kali aku merintih, memohon belas kasihan… aku sakit… sakit sekali… aku akan mati… tubuhku berdarah-darah… namun ia hanya tersenyum penuh ketulusan, berhenti sejenak, dan ketulusan itu adalah alasan ia menikamkan kembali tombak di jantungku… lebih dalam. Mengulang… dan berulang.

Dalam sakit.. yang sakitnya hampir tak terasa, aku menemukan jawaban. Aku telah bersalah… sangat bersalah.

Harapanmu menghampiriku, bertumbuh dalam hatiku, mengalir dalam nadi… dan menjadi racun untuk tubuhku yang rapuh… perlahan namun membunuh.

Seperti katamu…

Ketika aku mulai merasa tersakiti dan meminta perhatianmu.. merongrongmu… hal hal yang kau anggap seperti anak kecil..

Lalu Kamu memintaku untuk mengerti.

Pernahkah kamu menyelesaikannya?

Kamu selalu memintaku mengerti di akhir, bukan di awal.

Aku bukan mainan atau pemuas, yang bisa kamu hampiri saat senggang dan kamu tinggalkan saat kesibukan datang. Aku bukan seperti itu. Dan tugasku bukan hanya menunggu.

Kamu terus menyuruhku menunggu dan mengandai, semu yang kamu sendiri tak tahu apakah akan seperti itu.

Lalu bagaimana bisa aku merasakannya? Jika ternyata aku lebih dulu hancur dan menjadi debu… aku memberikan semuanya tanpa mengulurnya. Tanpa andai dan nanti. Aku yang seperti ini yang akan kamu dapatkan nanti.

Berhenti mengandai… atau berlindung di balik jika dan nanti.

Hingga waktu…

Waktu membuktikan. Jauh lebih nyata dari perkataan.

Membungkam segalanya.

Terbaik menurutku.. memang bukan terbaik versimu. Tak perlu dipaksakan lagi.

“Bersama… adalah tentang bagaimana kita mengkomunikasikan ketidaknyamanan dan menyelesaikannya… sebelum menjadi pesakitan. Bukan dengan tak ingin mendengarnya, menghindarinya, dan mengakhirinya. Seolah tak terjadi apa-apa. Bersama tidak hanya membahas keindahan dan menghindari bahasan yang memilukan. Bahasan memilukan itu adalah objek yang harus diselesaikan dan akan semakin mengeratkan. Ya… jika kita berhasil melaluinya.”

Kita tak perlu berlari lagi. Tak perlu berpegangan dan saling melukai.

Jangan diteruskan lagi… aku akan sekuat tenaga tidak muncul di hadapanmu. Meskipun sakit, tapi bertahan nyatanyapun semakin sakit.

Aku akan menyapih hubungan ini. Kamupun juga.

Aku menyerah…

Begitu besar harap yang ku tanam dengan lalai terlalu dini.

Begitu rakus ingin ku semai.

Hingga menyebabkan aku begitu terluka dan tak mampu merasakannya lebih lama.

Keindahannya, kebahagiaannya. Sepaket dengan pesakitannya.

Membuatku harus menguburnya, mati di awal.

Aku tak pernah meninggalkanmu.

Sepertihalnya pilihan dirimu yang tak mempertahankanku, berbeda dengan ucapmu.

Tapi kita hidup dengan bukti dan realita, bukan dengan andai dan kiasan bibir belaka.

Atlanna.