Tujuan dan Pengakhiran

Tujuan. 
apakah aku memilikinya?
dimanakah tujuan itu?
apakah kini aku sedang mengarungi samudera lepas tanpa tujuan?
mendayung seorang diri... 
image source : velascoindonesia.com

Semakin aku mendekatinya, rasa ngilu ini kian datang menyerang. Akupun tak mungkin bergerak menjauh karena ia adalah tempatku pulang. Seharusnya. Aku kira, ia akan menjadi rumah yang meneduhkan. Rumah yang pertama dan terakhir, tempatku menua dan berbagi keadaan. Hidup adalah tentang menghadapi apa yang terjadi. Masa depan memang sebuah rahasia yang sulit untuk diperediksi. Lalu? Aku pun harus berdamai, jika apa yang ku ingini… tak seperti apa yang terjadi.

Seorang diri. 
Apakah kamu bahagia?
Kamu ingin apa? 
Bagaimana harimu hari ini? 
Apakah berat? Tenang saja... 
kita akan hadapi bersama.
- Begitulah aku, dan aku yang lain.

Mereka kerap mencaciku seolah aku ingin sendiri. Mereka pula terlalu mudah menyimpulkan kehidupan yang tidak mereka jalani. Seperti mudahnya aku menyimpulkan begitu teganya mereka meringkas perasaan dan maksudku hanya dengan sudut pandang mereka sendiri. Ironi.

Terkadang, aku merasa sangat lelah. 
Hingga ingin mati saja.
Tapi aku selalu berkata, 
surga tak menunggumu.
Juga berkata, 
kamu adalah seseorang yang penuh semangat untuk menggapai kebahagiaanmu.

Aku tersenyum kecut. Kadang kehidupan mampu mengubah seseorang. Kadang pesakitan demi pesakitan tak selalu membuat seseorang lebih kuat. Akui saja kerapuhan itu, dengan berdamai dengannya… sejatinya kamu akan melangkah lebih kuat dari sebelumnya.

Selalu ada harapan yang lahir setelah harapan lain terbunuh oleh pembunuh yang sama. 
Jiwa yang bertumbuh dengan harap seringkali menjadi sebab seseorang terjebak dalam kegagalan mengambil keputusan. 
Kamu selalu berharap, pada sesuatu yang akhirnya selalu sama saja. 
Sebetulnya, kamu menumbuhkan harap atau sengaja membangkaikan mereka semua?

Kita hidup bukan untuk mengulang sebuah kesalahan yang sama. Kesalahan mengambil keputusan tentu saja akan menghantui masa depan. Akankah aku benar kali ini? Ataukah aku? aku? aku?

Manusia.
tubuhmu memang sarang ternyaman sebuah keegoisan.
hal paling menyedihkan terjadi daripadamu...
ketika kamu merasa selalu benar... selalu...
ketika kamu merasa benar meski berdusta...
ketika kamu merasa benar meski berkhianat....
ketika kamu merasa benar meski kamu... kamu... kamu...
nyatanya, sebuah dosa bisa menjadi tidak dengan keegoisanmu.
sebuah pahala menjadi hal yang berlebihan untuk dilakukan dengan keegoisanmu.
hatimu itu telah penuh dengan dirimu.
lantas, untuk apa memelihara orang lain lagi?
untuk menyimak bahwa kehidupanmu selalu benar dan benar...
karena pengakuan dosamu... selalu bersamaan dengan TAPI. 

Harus bagaimana lagi… aku menghadapinya, rasanya aku telah meronta dan berteriak sekuat tenaga. tak satupun mendengar teriakan… rontaan… tak ku pinta belas kasih dari kalian karena nyatanya memang tiada.

Akan ku dayung perahu kecil ini sampai akhir… kebocorannya telah dimana-mana…. tanganku yang dua ini tak lagi sanggup menambalnya bersamaan… sementara penumpang lain tertawa-tawa tak apa. Ku dayung perahu kecil ini sampai karam dengan sendirinya… lalu, biarkan aku menyelami samudera yang dingin dan dalam… air perlahan masuk ke tubuhku… memenuhi rongga dadaku… ah, rasanya sesak sekali. Lebih sesak dari tangis-tangisku bertahun-tahun ini… Hingga mata terpejam, dan nyatanya… mungkin itu adalah pengakhiran dari perjalanan ini.

Jangan Patah!

Untukmu, Perempuan Penumpuk Harapan. Jangan Korbankan Perasaanmu.
Picture Credit : https://www.hipwee.com/list/untukmu-perempuan-penumpuk-harapan-jangan-korbankan-perasaanmu/

Kehidupan duniawi memang lekat dengan pangkat, pencapaian, harta, dan serba-serbi serupa lainnya. Seringkali hal itu menjadi standard untuk mendefinisikan seseorang, atau pun menjadi standard untuk menilai seseorang. Kita kerap menyuarakan sesuatu, jangan membeda-bedakan manusia, karena kita memiliki derajat yang sama. Sebagian orang tidak mempercayai konsep itu, sebagian lagi… hanya mengamalkannya melalui lidah saja.

“Usaha tidak akan mengkhianati hasil.”

Kata mereka. Kata kita semua. Apakah itu benar?

Benar. Hanya saja… mungkin kebenaran itu tak pada waktu yang sangat kita inginkan. Sebagai manusia bertuhan, berusaha dan berdoa adalah sebuah keharusan. Namun, kita memang tak bisa mengontrol bagaimana keputusan Tuhan. Selalu ingat… di luar sana, ada lebih banyak manusia yang lebih keras berusaha dan juga berdoa. Jadi, apabila keinginanmu belum menjadi kenyataan saat ini, berbesar hatilah! jangan patah!

Realita lain yang harus dipahami adalah… di belahan bumi ini, ada manusia yang begitu tulus berdoa dan gigih berusaha. Namun, kehidupannya tak seperti yang diharapkan sebagian besar orang. Kita mungkin berpikir betapa sia-sia… Namun, orang tersebut bisa saja sudah ikhlas dengan segala yang menimpa kehidupannya. Percaya, bahwa yang ia usahakan, bukanlah hal yang sia-sia… Nanti… entah kapan… ia akan menuai apa yang ia tanam. Hanya saja waktunya yang rahasia.

Jangan patah!

Jangan patah hanya karena mimpi yang sudah kau rangkai sedari dulu tak menjadi nyata. Berhenti membandingkan keberuntungan hidupmu dengan teman-temanmu. Selalu ada cara untuk lebih memaknai kehidupan ini. Jika sudut pandangmu kini cukup menyiksa, maka bergeserlah sedikit hingga kau bisa melihat spot lain yang membuatmu lega dan tersenyum kembali.

Jangan patah! dunia ini hanya gurau. Tetaplah hidup pada waktu yang sebentar ini.

Emansipasi Perempuan di Hari Kartini

Ibu R.A. Kartini adalah salah satu pahlawan perempuan yang sangat mengispirasi dalam usaha-usahanya memberikan emansipasi. Pahlawan perempuan lain yang juga gigih mendirikan sekolah perempuan adalah Ibu Dewi Sartika. Kemudian, banyak lagi nama-nama yang juga memiliki jasa dalam memperjuangkan hak dan emansipasi perempuan, serta membuktikan bahwa perempuan pun bisa diandalkan. Beliau-beliau adalah Ibu Cut Nyak Dhien, Ibu Hj. Rangkayo Rasuna Said, Ibu Maria Walanda Maramis, dan masih banyak lagi.

Emansipasi merupakan bentuk yang diperjuangkan namun rawan dipelintir dan dilemahkan. Oleh siapa? Tak melulu oleh kaum adam. Kadangpun, kita sendiri. Kaum hawa, perempuan.

Saya menyuarakan bahwa emansipasi tidak serta merta membuat diri kita kebal akan kesalahan dan harus selalu dibela. Emansipasi di pundak kita mengharuskan kita bersikap tanggungjawab dan bermoral.

Perempuan… ingatlah martabat dan harga dirimu, yang kini sebagian darimu mencabiknya sendiri dengan sadar. Tak apalah, tinggal berlindung di dekapan emansipasi karena pasti akan dibela. Begitu sebagian dari mereka berpikir. Bukan… bukan demikian emansipasi yang sesungguhnya. Emansipasi memberikan kita hak untuk membela diri kita, jika memang kita benar… namun jika kita bersalah? Emansipasi juga menuntut kita untuk tanggungjawab.

Kesetaraan gender adalah tuntutan kita. Kita tak suka dibeda-bedakan hanya karena kita perempuan. Kitapun sering kali tak terima apabila dicap “lebih lemah”.

Maka tunjukkan. Selaraskan sendi-sendi emansipasimu wahai perempuan. Jagalah diri dan junjung martabatmu. Jika di kemudian hari kau terperosok, maka bangunlah karena memang kau kuat dan bertekad berbenah. Tak perlu meringkuk seolah kau lemah dan menyalahkan pihak lain padahal kau terperosok karena berlari-lari bahagia penuh nafsu hingga tak memerhatikan langkah pijakmu. Women empower women…
Tapi ingat, dukung jika memang benar. Ingatkan dan biarkan bertanggungjawab bila salah.

Sudut pandang, dari semakin banyaknya perempuan di luar sana yang bertindak amoral dg kesadaran, lalu mengatasnamakan emansipasi meminta pembelaan atas perbuatannya. Berlindung di ketiak pelecehan, pemaksaan, dan sifat lemahnya. Aku paham, tak semua demikian. Oleh sebab itu… kita pun harus BIJAK melihat mana yang perlu dibela, mana yg sepatutnya mendapatkan pelajaran. Agar hal demikian, tidak terlanjur menjadi kebiasaan.

Jadilah tangguh seperti inginmu.
Tetaplah berani mengejar asamu.
Luruskan moral dan pikirmu.
Kaitkan pada laku dan keseharianmu.

“Watch your thoughts, they become words;

watch your words, they become actions;

watch your actions, they become habits;

watch your habits, they become character;

watch your character, for it becomes your destiny.”

– Margaret Thatcher


Happy Kartini Day. Selamat Hari Kartini Para Perempuan. Semoga kita sehat selalu dan menjadi agen pencerdas penerus peradaban. #kartiniday

Suara Hati Atlanna – Antara aku dan dia, tanpanya

Source : google image search

Kini… saatnya aku betul-betul menyapih perasaan yang tak seharusnya ku utarakan. Jika waktu bisa diulang, takkan ku nodai kepedulianku padamu. Jika memang merasa mengasihimu adalah sebuah anugerah, seharusnya aku cukup menyimpannya.

Aku berhenti menghinakan dan merendahkan diriku dihadapanmu. Berharap pada manusia hanya akan membuatku terus terjatuh dan terseret. Berharap pada manusia hanya membuatku terus kecewa dan menangis.

Aku dihadapkan pada realita,

Apakah aku bahagia?

Ternyata tidak.

Kamu adalah semu yang ku pelihara dalam alam bawah sadarku. Kamu adalah harapan yang ku pintal dari serpihan asa tersisa… Ya, kamu adalah harapan yang muncul atas kekecewaanku. Sehingga aku begitu bernafsu menjadikanmu tumpuanku, harapanku, segalanya dalam hidupku. Pesakitanku, ku labuhkan pada dermagamu, berharap kamu menimangnya dengan kelembutan, menjahit robekan penuh perasaan. Namun ternyata semua hanyalah semu yang ku asuh hingga ia mampu menikamku…

Ya… melukaiku…

Dewasalah…” hanyalah kata dibalik garangnya tombak yang tak henti menghujam tubuhku yang lebam. Ia betul-betul tak berbelas kasih. Meski nampaknya ia begitu lembut dan penuh kepedulian. Berkali-kali aku merintih, memohon belas kasihan… aku sakit… sakit sekali… aku akan mati… tubuhku berdarah-darah… namun ia hanya tersenyum penuh ketulusan, berhenti sejenak, dan ketulusan itu adalah alasan ia menikamkan kembali tombak di jantungku… lebih dalam. Mengulang… dan berulang.

Dalam sakit.. yang sakitnya hampir tak terasa, aku menemukan jawaban. Aku telah bersalah… sangat bersalah.

Harapanmu menghampiriku, bertumbuh dalam hatiku, mengalir dalam nadi… dan menjadi racun untuk tubuhku yang rapuh… perlahan namun membunuh.

Seperti katamu…

Ketika aku mulai merasa tersakiti dan meminta perhatianmu.. merongrongmu… hal hal yang kau anggap seperti anak kecil..

Lalu Kamu memintaku untuk mengerti.

Pernahkah kamu menyelesaikannya?

Kamu selalu memintaku mengerti di akhir, bukan di awal.

Aku bukan mainan atau pemuas, yang bisa kamu hampiri saat senggang dan kamu tinggalkan saat kesibukan datang. Aku bukan seperti itu. Dan tugasku bukan hanya menunggu.

Kamu terus menyuruhku menunggu dan mengandai, semu yang kamu sendiri tak tahu apakah akan seperti itu.

Lalu bagaimana bisa aku merasakannya? Jika ternyata aku lebih dulu hancur dan menjadi debu… aku memberikan semuanya tanpa mengulurnya. Tanpa andai dan nanti. Aku yang seperti ini yang akan kamu dapatkan nanti.

Berhenti mengandai… atau berlindung di balik jika dan nanti.

Hingga waktu…

Waktu membuktikan. Jauh lebih nyata dari perkataan.

Membungkam segalanya.

Terbaik menurutku.. memang bukan terbaik versimu. Tak perlu dipaksakan lagi.

“Bersama… adalah tentang bagaimana kita mengkomunikasikan ketidaknyamanan dan menyelesaikannya… sebelum menjadi pesakitan. Bukan dengan tak ingin mendengarnya, menghindarinya, dan mengakhirinya. Seolah tak terjadi apa-apa. Bersama tidak hanya membahas keindahan dan menghindari bahasan yang memilukan. Bahasan memilukan itu adalah objek yang harus diselesaikan dan akan semakin mengeratkan. Ya… jika kita berhasil melaluinya.”

Kita tak perlu berlari lagi. Tak perlu berpegangan dan saling melukai.

Jangan diteruskan lagi… aku akan sekuat tenaga tidak muncul di hadapanmu. Meskipun sakit, tapi bertahan nyatanyapun semakin sakit.

Aku akan menyapih hubungan ini. Kamupun juga.

Aku menyerah…

Begitu besar harap yang ku tanam dengan lalai terlalu dini.

Begitu rakus ingin ku semai.

Hingga menyebabkan aku begitu terluka dan tak mampu merasakannya lebih lama.

Keindahannya, kebahagiaannya. Sepaket dengan pesakitannya.

Membuatku harus menguburnya, mati di awal.

Aku tak pernah meninggalkanmu.

Sepertihalnya pilihan dirimu yang tak mempertahankanku, berbeda dengan ucapmu.

Tapi kita hidup dengan bukti dan realita, bukan dengan andai dan kiasan bibir belaka.

Atlanna.

Segetiga dalam Senja – Sebuah kisah tentang titik pandanganmu

Ps. It isn’t my own paint

Malam ini Atlanna berusaha menutup matanya dengan berat. Ada beban yang sulit dilepas, namun tak lagi kuat untuk dipertahankan. Mari sejenak mengulik hatinya… jika semesta selalu mengatakan orang ketiga adalah yang bersalah. Bersama Atlanna, aku mengenal sudut pandang lainnya… sudut pandang lainnya bukan sudut pandang kebalikannya 🙂


Aku merasa harus meninggalkannya. Kali ini, aku harus bisa.

Aku berusaha menghimpun, alasan yang dapat melampaui nurani dan nalarku. Aku merasa… aku semakin mencintainya, semakin nyaman olehnya. Sedangkan mencintai adalah alasan utama aku akan merasakan sakit hati. Tidak, aku rasa aku harus segera mengakhirinya. Aku harus segera mencari cara.

Entah apa yang akan terjadi di depan sana, namun aku dan Noah memang seharusnya tidak pernah terjadi. Pada waktu sekarang, waktu yang salah.

Tasha yang tak pernah ku kenal.

Sebelumnya aku hanya mendengar nama dan cerita tentangmu, darinya… dan beberapa dari mereka.

Maaf aku menyusup masuk dalam kehidupanmu.

Entah bagaimana awalnya, dan apa alasanku.

Aku mengenal Noah lebih dahulu daripadamu, meskipun Noah berkilah akulah yang ada di hatinya lebih dulu, semesta tahu kaulah yang memilikinya lebih dulu.

Bodohnya aku… yang membiarkan ia memanjakanku dengan segala perhatian dan kasih sayangnya. Membiarkan dia masuk ke dalam kehidupan yang sebelumnya rapat ku kunci.

Lalu aku meminta Noah untuk lebih menomorsatukanku daripadamu. Sungguh seperti kata mereka, aku memang tak berperasaan.

Noah telah mengingkari kesepakatan yang kami buat. Kesepakatan sederhana untuk bersikap.

Aku rasa, sakit ini adalah yang harus ku bayar karena keserakahanku sebelumnya. Aku tak pernah membenarkan sikap Noah.

Dia pecundang.

Aku benci dengan caranya menyakitimu. Aku benci caranya berkhianat. Sepaket dengan ketidakmampuannya mengambil ketegasan sebagai seorang lelaki. Dan ia menunggu ketegasanku, mengorbankanmu untuk dibohongi.

Sha, aku tak pernah menyukai kesepakatan seperti itu. Meskipun aku tak seputih awan… namun, akupun ingin kamu mendapatkan keadilan.

Noah tak mampu melepasmu. Bukan tak mampu, tapi tak mau. Sehingga… biarkan senja membawaku. Meleburku bersama gelap malam… menghitamkan angan-angan yang sempat ku harapkan. Aku tak pantas berharap di atas pengharapanmu.

Atlanna.


Epilog.

a little pieces of Segetiga dalam Senja. Full story akan diunggah di wattpad : melianasution.

Stay tuned!

Titik 0

Hi dude… listen to me…

“If someone broke your heart, it isn’t mean you can broke others heart to revenge your pain.”

Seseorang merasa ia menyakiti perempuan karena ia tak lagi memiliki rasa akibat pernah disakiti perempuan. Ia terus mengenang deritanya yang membuat hatinya sakit dan membenarkan sikapnya yang menyakiti perempuan lain. Benarkah hal tersebut ?

Ketika seseorang menyakiti hatimu, itu tidak menjadikanmu berhak untuk melukai hati orang lain dengan alasan kamu sedang terluka.

Seseorang yang dewasa tidak akan melakukannya. Dirimu yang sakit itu.. berikanlah waktu. Biarkan semesta yang mengeringkan lukanya. Tetapi keputusanmu, bersenang-senang dan menyakiti perempuan lain takkan pernah benar di mata semesta. Jika kamu ingin membalas, maka balaslah pada siapa pesakitan itu diberikan.

Bagiku, merasa baik-baik saja, baik-baik saja untuk kembali membahas untuk mengambil pelajaran di masa lalu merupakan salah satu pertanda bahwa kita telah menerima. Menerima luka yang mungkin pernah dirasakan di masa sebelumnya. Namun, jika kamu masih kerap berlari… tak ingin membahasnya, merasa tidak nyaman mendengarnya… mungkin kamu harus bertanya apda dirimu sekali lagi, apakah kamu baik-baik saja?

Memulai sesuatu yang baru akan lebih baik ketika kita berada di titik 0. Tidak kurang, dan tidak lebih. Tanpa interverensi masa lalu, ataupun tuntutan masa depan yang pincang dari 1 pihak. Kebersamaan adalah sebuah kesepakatan dari 2 orang yang berada di titik 0, merasa memiliki visi yang sama, dan bersama menyusun cara dan langkah untuk mewujudkan cita-cita bersama. Jadi, jika kamu merasa sakit masa lalumu masih harus dikenang… maka kenanglah sepuasmu sebelum memulai yang baru.

Menjadikan pesakitan masa lalu sebagai pembenaran sikap kita menyakiti orang lain adalah tindakan pengecut.

Memastikan seseorang ada di titik 0 merupakan hal yang penting karena awal akan selalu mempengaruhi akhir. Mengawali sesuatu dengan hal baik adalah ikhtiar untuk mendapatkan akhir yang baik pula.

Untukmu yang sakit hatinya, tak perlu merasa merana atau merasa bahwa dunia sekejap akan sirna.

Kamu hanya perlu menerimanya…

Menerima…

Lalu melaluinya.

We can’t  hurry up love…

Biarkan hatimu, jiwamu… menerima dan menyembuhkan lara.

Jangan memaksanya! Atau berusaha menikmati kelembutan dari orang lain hingga kau berakhir menyakitinya.

Pesakitanmu… tak dapat kau jadikan alasan yang benar saat kamu menyakiti orang lain.

Jika kamu seseorang yang tangguh, kamu akan mengakuinya jika kamu membutuhkan waktu.

Hingga saat titik 0 mendatangimu.

 

E n a m

“I hate you.

But I hate myself more.”

Seseorang di masa lampau pernah menuliskan sebuah ungkapan.

Terimakasih sudah menghibur lalu kabur.

Terimakasih sudah ada lalu tiada.

Kamu tersesat, dengan hutan yang kau ciptakan sendiri.

Kamu terus berjalan semakin dalam, berlari melampiaskan beban.

Kamu pikir, tak apalah kau susuri hutan, itu lebih baik daripada menyelami kesepian.

Kamu tak sadar, kamu semakin dalam dan terperangkap.

Hutan bukan pantai yang memeluk lautmu erat..

Disini gelap, kesunyiannya membawamu semakin dalam. Hingga tak ada lagi suara yang kau dapati selain sendirinya sunyi.

Dan dia yang memancingmu kemari, sama sekali tak nampak. Kau sendiri bukan? Dan kau tak berhak memintanya kembali atau menolongmu.

Merasakan perasaan seperti ini ternyata tidak lebih mudah daripada menjalaninya sendiri.

Bukankah kau sudah kuat berdiri di atas kakimu saat itu?

Mengapa kau melemahkan kakimu, membiarkan korek api yanh begitu kecil menopangmu?

Apa kamu gila?

Apa yang ada di pikiranmu?

Pertahananmu payah. Setelah sekian tahun, kau sendiri membuatnya menjadi remeh temeh belaka.

You bringing down yourself. Perfectly!!

Dasar bodoh.

Kini apa yang harus kau lalui jauh daripada apa yang kau hindari.

Kau berusaha lari dari api untuk masuk ke lautan api.

Kau berusaha memejamkan perih untuk merasakan pedih.

Apa kau ini?

Bangun.

Gunakan kedua kakimu.

Berdiri. Seiring dengan akhir tulisan ini. Lupakan rindumu.

Rindumu itu bodoh. Kebodohan yang utuh dan begitu sempurna tanpa cela.

Kau merindukan kesunyian. Kekosongan dari sebuah permainan.

Getting back to your own rail. And remember who you are. Remember how strong you are.

Broken Concept

I haven’t had time to thank…

My soul always grows every second.

infrequently he died and he grew from the beginning.

Strong … stronger …

They all do. adored me

Because of my life, my firmness, and my self-concept.

Which can not be bought. By others concept.

Broken.

Yes, I am stubborn with all the concepts.

Who predicted it?

I feel my concept is wrong now.

I say while being able to love and be loved … why just be “loved?”

I leave them one by one.

That understands me.

They even know me more than I do.

And then stupidity bring me down lastest.

I’m more confident in new people.

That did not understand my concept at all.

I sound to em right now.

I broke my concept.

I live my life, fully with reality.

Where s the concept?

We have to grow, and leave some part of life. Found the better one… and go on.

kamu, KOPI

 

foto-manfaat-minum-kopi-untuk-kesehatan-hati

Kehidupan terkadang meminta kita untuk mengerti. Salah satunya mengerti dan memahami hakikat sesuatu hal, sehingga kita bisa memperlakukannya dengan baik dan sesuai dengan kadarnya. Banyak orang yang tidak memahami dan tidak mengerti, bahwasannya :

“Meminum kopi mentah-mentah akan selalu pahit meskipun kita mengulangnya 1000 kali sekalipun.”

Ya, terkadang kita lupa, bahwa rasa kopi bukanlah batu. Cerita tentang kopi ini sedikit berbeda dengan cerita batu yang akan berlubang apabila ditetesi air menahun. Batu memang akan berlubang oleh waktu meskipun hanya air yang menyebabkannya. Tetapi rasa kopi ? ia akan tetap pahit meskipun 1000 kali kita mengulang meminumnya mentah-mentah.

Begitulah hal yang aku rasakan sekarang. Nampaknya ia bukan seperti batu yang keras. Tetapi ia adalah kopi yang pahit. Aku harus berusaha sendiri untuk menambahkan gula, menambahkan susu, atau krim untuk mengurangi kepahitannya. Ya, harus aku. Karena kopi takkan mencari gula atau semacamnya dengan sendirinya. Benar saja, semua ini berjalan begitu lama dengan segala kelegaan hatiku melepaskan rasa kecewa dan memulainya dengan rasa kasih kembali. Seperti halnya kopi, 1000 kalipun aku mencobanya kembali, sejatinya rasa pahit kopi itu tak pernah menghilang, hanya tersembunyi sementara dengan apa yang aku lakukan.

Catatan tentang kopi ini sesungguhnya mencari sebuah titik pengakhiran. Kadang aku merasa terlalu kuat untuk menghapus rasa letih begitu mudahnya hanya karena tertipu wajah melas yang dibaliknya tersimpan jiwa yang teramat tega. Bagaimana bisa ? dunia ini memang sandiwara. Wajar saja jika terkadang air mata harus menjadi topeng dan penghias agar kehidupan berjalan seperti apa yang kita inginkan.

Catatan ini, bukan bentuk sarkasme atau keangkuhan atas luka yang ada. Saya tidak bahagia. Saya terluka, dan saya sakit oleh karenanya. Mungkin dengan menuliskan demikian, rasa pedih itu bisa memudar seiring dengan tertulisnya beberapa huruf yang terangkai disini.

“Saya letih. Saya menginginkan seorang pria yang baik, yang akan menghargai saya, yang akan memahami dan ikut mencemaskan saya, ketika saya cemas menunggu, ketika saya menghabiskan malam dengan menunggu kabar. Maka ia akan mengabari saya secepat ia bisa dan tak lalai akan itu, karena dia tahu dan mengerti, bagaimana rasanya begitu mencintai dan bagaimana cara merawat cinta itu.”

Saya ingin menanam bunga tulip. Bukan meliarkan rumput. Saya sudah letih dengan segala ketegaan yang dipersembahkan, dan segala drama kepura-puraan seakan tak terjadi apa-apa.

13 – 5 – 2014

a tribute of my perspective.