Telur Fertil, Infertil, Konsumsi, Tetas. Apa Bedanya ?

Telur (9)_23102018161307
picture source : ews.kemendag.go.id

Rasanya sudah beberapa waktu tidak sharing seputar peternakan. Semoga kita semua dalam keadaan sehat dan pandemi covid-19 ini segera berlalu.

Beberapa waktu lalu, kita sempat dihebohkan oleh fenomena merajalelanya telur tetas alias hatching egg (HE) di pasaran. Hal ini tentu saja meresahkan para peternak layer karena oknum tersebut menjual hatching egg dengan harga miring sehingga merusak harga telur pada saat itu. Minimnya pengetahuan orang awam membuat masyarakat berbondong-bondong membeli telur ini tanpa mengetahui asal usul dan seluk beluknya. Kamudian, barulah ramai ulasan-ulasan mengenai bahaya mengkonsumsi hatching egg berikut aturan yang melarang peredarannya sebagai telur konsumsi. Beberapa artikel yang saya baca, ada beberapa istilah dan pemahaman yang perlu diluruskan. Semoga tidak terlambat menuliskan artikel ini, sebagai tambahan pengetahuan bersama.

Pandemi covid-19 ini menggeser beberapa tatanan kehidupan industri, tak terkecuali industri peternakan. Bagaimana tidak, pada awal pandemi diberlakukan berbagai pembatasan yang ternyata juga membatasi pergerakan pakan ternak yang menyulitkan peternak. Selain itu, di awal pandemi harga ayam pun sempat merosot. Kondisi ini memicu para peternak ayam pedaging menunda chick in (mengisi kandang). Fenomena ini menyebabkan tingginya jumlah DOC yang tidak terserap. Inilah awal mula merebaknya telur tetas atau telur fertil atau hatching egg di masyarakat. Karena DOC overload, telur tetas yang seharusnya ditetaskan dialih fungsikan dan muncul oknum yang memperjualbelikannya sebagai telur konsumsi.

Berikut saya mencoba membuat bagan mengenai telur fertil dan infertil untuk mempermudah penyampaian informasi.

TELUR

Telur dapat dibedakan menjadi 2. Telur fertil dan infertil. Lalu, Apakah telur fertil itu?

“Telur fertil adalah telur yang sudah dibuahi, telur ini dihasilkan dari proses persilangan/perkawinan. Biasanya, telur tetas ini dihasilkan oleh peternakan ayam pembibit (parent stock). Telur tetas akan diseleksi untuk ditetaskan menjadi DOC (final stock).”

Apakah telur tetas yang menjadi cikal bakal final stock (ayam pedaging/petelur) ini boleh diperjual-belikan sebagai telur konsumsi?

TIDAK. Hal ini sudah di atur baik di Undang-undang maupun di Permentan perihal larangan alih fungsi telur tetas menjadi telur konsumsi. Aturan ini tentu saja dibuat untuk kebaikan bersama. Kebaikan peternak layer, juga kebaikan masyarakat sebagai konsumer. Mengapa? Apa jadinya apabila tidak ada pelarangan? Setiap ada kelebihan stok, maka telur fertil atau telur tetas yang seharusnya ditetaskan ini akan dilempar ke pasar. Selain merusak harga, hal ini bisa menggerus eksistensi peternak layer (peternak ayam yang menghasilkan telur konsumsi). Lalu ketika stok normal dan telur tersebut tidak ada di pasaran, dengan kondisi tergeruskan peternak layer sangat mungkin terjadi ketidakseimbangan supply yang berpotensi menyebabkan kelangkaan dan naiknya harga telur konsumsi. Lagi-lagi, kita sebagai konsumer akan kesulitan dengan kondisi ini. Jadi, hal ini juga menyangkut sustainability.

Lalu sebetulnya, apakah mengkonsumsi telur tetas ini berbahaya?

(Mohon dipahami sampai akhir dan jangan dibaca setengahnya saja untuk menghindari kesalahpahaman)

Jawabannya tergantung kondisinya. Saya menjawab dari sisi keilmuan. Telur tetas yang langsung didistribusikan dari breeding farm dan tidak mengalami perlakuan pra penetasan, bisa dikatakan telur ini AMAN dikonsumsi. Ditinjau dari segi nutrisinya, sama dengan telur konsumsi. Mengapa aman? Karena telur ini belum mengalami pengeraman/proses penetasan. Posisinya, sama saja dengan kita mengkonsumsi telur ayam kampung. Kita memahami bahwa telur ayam kampung merupakan telur fertil yang sebelum diengkrami induknya sudah diambil untuk dijual/dikonsumsi. Jadi posisi telur ini di bagan di atas adalah telur fertil yang sengaja tidak ditetaskan.

Sedangkan telur tetas/HE yang sudah mengalami perlakuan pra penetasan seperti fumigasi atau penyimpanan di holding room, tentu saja tidak disarankan untuk dikonsumsi karena kerabang telur memiliki pori-pori. Dikhawatirkan terdapat residu kimia yang masuk atau telur tersebut sudah berkembang karena perlakuan pra penetasan.

Nah, inilah… sebab kita harus patuh peraturan. Selain merupakan kewajiban sebagai warga negara yang baik juga demi keamanan karena kita tidak mengetahui PASTI asal muasal telur tetas yang dijual oleh oknum. Apakah telur tersebut dari farm? Atau dari penetasan dan sudah mengalami perlakuan?

Selain itu banyak yang menyebut telur tetas ini sebagai telur infertil sehingga dijual. Sebagian orang menganggap telur-telur tersebut adalah telur yang tidak lolos seleksi dan dijual. Telur tetas aka telur hatching egg aka telur HE merupakan telur fertil. Dalam perjalanannya di proses penetasan, telur ini akan mengalami seleksi/grading, beberapa telur tidak lolos seleksi sehingga tidak dapat ditetaskan dan dimusnahkan. Di bab ini lah, sering kali istilahnya berubah menjadi telur infertil. Telur tetas atau fertil yang tidak lolos grading untuk ditetaskan disebut culling egg.

Lalu, apa yang disebut telur infertil?

“Telur infertil sendiri adalah telur yang tidak dapat ditetaskan karena dihasilkan dari ternak tanpa proses persilangan atau perkawinan. Contohnya adalah telur ayam konsumsi yang kita konsumsi sehari-hari aka telur ayam layer.”

Sebagai konsumer, hendaknya kita bijak dalam menanggapi fenomena ini. Memahami ilmu dan pengetahuannya, namun tetap berpegangan pada aturan yang berlaku. Belilah telur konsumsi yang legal untuk dibeli, selain demi keamanan pagan juga sustainability.

Konsumsi telur sebagai sumber protein terbukti melalui beberapa penelitian dapat menunjang sistem imun. Telur mengandung berbagai macam zat nutrisi seperti ovoalbumin, lutein, kholin, folat, riboflavin, selenium, dan berbagai zat nutrisi lain yang berperan sebagai antioksidan, antimikroba, juga immunomodulator. Mencegah penularan covid-19 yang paling efektif versi saya adalah penerapan pola hidup sehat untuk mendukung protokol new normal. Memperhatikan konsumsi dan asupan nutrisi tubuh agar tubuh tetap fit. Telur adalah alternatif pangan hewani dengan harga terjangkau yang dapat dijangkau oleh segala kalangan. Pastikan mendapatkan telur dengan kualitas baik, menyimpan dengan baik, dan mengoleh dengan benar agar mendapatkan manfaat yang maksimal.

Tujuan penulisan artikel singkat ini hanya sebagai penambah wawasan, apabila ada hal yang kurang tepat, saya terbuka untuk diluruskan demi ilmu yang bermanfaat. Semoga di tengah pandemi ini, kita selalu diberikan kesehatan.

Intoleransi Laktosa (Lactose Intolerance) dan Peran Enzim Laktase pada Manusia

Minum-Susu-Sapi-Memicu-Kanker
Source : google image

Perkembangan zaman dan kemudahan akses melalui teknologi internet memang mendatangkan berbagai keuntungan dan mempermudah manusia dalam mengakses informasi. Namun, akses teknologi ternyata juga mengantarkan dan mempermudah informasi tidak valid diterima dan menjadi konsumsi masyarakat. Seperti halnya berita yang saat ini yang lumayan viral menjadi konsumsi publik, mengenai anjuran untuk menghindari susu sapi karena susu sapi mengandung laktosa. Dikatakan, tubuh manusia tidak memiliki enzim untuk mencerna laktosa tersebut. Nah, apakah informasi ini benar? Mari kita mengulasnya bersama mengenai intoleransi laktosa.

Laktosa merupakan disakarida yang disusun oleh glukosa dan galaktosa. Pada umumnya, laktosa dikenal sebagai gula susu karena karbohidrat ini ditemukan di dalam susu. Menurut Madry et al. (2010), laktosa (gula susu) adalah nutrisi utama dalam susu mamalia yang merupakan sumber karbohidrat utama selama periode neonatal. Laktosa disintesis oleh laktosa sintetase secara eksklusif di kelenjar susu hampir semua mamalia plasental (kecuali singa laut) selama kehamilan dan laktasi akhir. Nah, semua susu mengandung laktosa ya… bahkan pada ASI pun terkandung laktosa sebagai gula susu.

Memang benar bahwa laktosa tidak dapat diserap secara alami oleh tubuh. Namun, hal ini bukan berarti laktosa tidak dapat dicerna.

Dalam proses metabolisme gula, tubuh kita membutuhkan enzim untuk memecah laktosa menjadi dua partikel yang lebih kecil yaitu glukosa dan galaktosa. Molekul-molekul gula yang lebih kecil lebih mudah diserap oleh sel-sel di usus. Proses penyerapan laktosa di dalam tubuh (usus) terjadi dengan bantuan enzim laktase. Enzim laktase dihasilkan oleh sel-sel dinding usus halus (enterosit). Laktase marupakan protein yang bertindak sebagai enzim yang membantu mempercepat proses biologis tubuh. Tanpa laktase, laktosa tetap dalam saluran pencernaan dan tidak dapat digunakan oleh tubuh serta menyebabkan gangguan metabolisme tertentu.

Jadi sudah clear ya… pada manusia normal, tentu saja laktosa dapat diserap karena manusia juga menghasilkan enzim laktase di dalam tubuhnya 🙂

Lalu, apakah ada manusia yang tidak dapat atau kesulitan mencerna laktosa? ada… Beberapa orang tidak dapat menghasilkan cukup laktase untuk memenuhi kebutuhan tubuh mereka bahkan ada pula yang sama sekali tidak dapat memproduksi enzim laktase. Pasien-pasien ini dikatakan menderita defisiensi laktase dan intoleransi laktosa.

Defisiensi laktase adalah kondisi dimana tubuh kita kekurangan enzim laktase. Hal ini dapat disebabkan sebagai akibat sekunder dari penderita diare. Kekurangan laktase menyebabkan tubuh kita tidak dapat mencerna dan menyerap semua laktosa (bisa dari susu, dari keju atau sumber lainnya) yang masuk ke dalam tubuh.

Intoleransi laktosa (lactose Intolerance) adalah kondisi dimana seseorang memiliki permasalahan kegagalan pembentukan enzim laktase. Gen yang bertanggung jawab untuk mengatur produksi laktase disebut gen LCT dan terletak pada kromosom. Kerusakan gen ini dapat menyebabkan produksi laktase tidak tepat atau tidak berfungsi. 

Gejala defisiensi laktase terlihat setelah 30 menit sampai 2 jam setelah minum susu atau produk susu lainnya. Gejala termasuk kram perut, perut kembung, mual dan diare. Dosis yang lebih besar dari produk susu sering menimbulkan gejala yang lebih parah. Kelahiran prematur, operasi usus, penyakit usus dan infeksi usus merupakan faktor-faktor risiko yang mungkin terjadinya intoleransi laktosa.

Yohmi et al. (2001) menyatakan defisiensi laktase dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu defisiensi laktase primer dan defisiensi laktase sekunder. Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu :

  1. Developmental lactase deficiency, terdapat pada bayi prematur dengan usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan ini terjadi karena aktivitas laktase belum optimal.
  2. Congenital lactase deficiency, kelainan dasarnya adalah tidak terdapatnya enzim laktase pada brush border epitel usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup.
  3. Genetical lactase deficiency, kelainan ini timbul secara perlahan-lahan sejak anak berusia 2-5 tahun hingga dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras yang tidak mengkonsumsi susu secara rutin dan diturunkan secara autosomal resesif.

Defisiensi laktase sekunder terjadi akibat faktor lain, yaitu konsumsi obat dan penyakit tertentu. Contohnya penyakit gastrointestinal yang menyebabkan kerusakan mukosa usus halus, seperti infeksi saluran cerna, malnutrisi dan lain-lainnya. Gangguan ini umumnya bersifat sementara dan aktivitas laktase akan normal kembali setelah penyakit tersebut sembuh (Boediarto, 2000).

Penanganan yang tepat untuk penderita defisiensi dan intoleransi laktosa yang tepat perlu dilakukan untuk meminimalisasi akibat yang ditimbulkan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah dengan konsumsi enzim laktase secara oral maupun suntik. Hal ini dilakukan, karena susu merupakan sumber kalsium yang tinggi dan baik untuk dikonsumsi. Selain itu, pada insiden diare anak-anak juga disarankan untuk mengkonsumsi susu yang rendah laktosa atau bebas laktosa sehingga recovery vili usus lebih cepat dan nutrisi tubuh tetap terpenuhi. Mengapa demikian? Simak diagram berikut.

diare intoleransi laktosa

Penjelasannya begini, ketika kita mengalami diare, terutama anak-anak, salah satu penyebab diare adalah infeksi rotavirus yang menyebabkan kerusakan mukosa, penumpulan dan pemendekan vili serta kematian sel sehingga sekresi enzim disakaridase (terutama laktase) berkurang. Laktosa yang tidak terserap karena penurunan enzim laktase merupakan bahan osmotik aktif yang menyebabkan diare osmotik yang menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit seperti natrium, kalium, dan klorida. Selain itu, laktosa akan difermentasi bakteri sehingga menghasilkan asam laktat dan gas. Pada keadaan tersebut, anak harus mendapatkan nutrisi untuk memenuhi kebutuhannya. Pemberian formula bebas laktosa dapat membantu memenuhi kebutuhan nutrisi anak, beberapa susu bebas laktosa juga mengandung zinc dan nukleotida untuk menunjang regenerasi sel-sel vili usus lebih cepat sehingga laktase kembali diproduksi.

Penelitian yang dilakukan oleh Simakachorn et al. (2004) di Thailand menyebutkan bahwa susu formula bebas laktosa memberikan hasil yang lebih baik dalam pengelolaan diet diare akut dibandingkan dengan susu formula yang mengandung laktosa. Xu JH and Huang Y (2002) di China menjelaskan bahwa formula bebas laktosa dapat memperpendek durasi sakit dan meningkatkan hasil terapi pada bayi dengan diare akut. Penelitian-penelitian mengenai susu bebas laktosa sudah banyak dilakukan di Indonesia.

penelitian laktosa
Source : Aminah, 2012

Selain itu, penggunaan susu fermentasi (yogurt) yang berasal dari fermentasi bakteri Lactobacillus bulgarius dan Streptococcus thermophilus yang mengandung enzim b-galaktosidase sangat bermanfaat bagi penderita intoleransi laktosa (Donan et al., 1998).  Sedangkan penggunaan probiotik yang mengandung Lactobacillus acidophilus dan bifidobacteriae menghasilkan aktivitas laktase 4 kali lebih tinggi dibanding dengan yogurt (Vessa et al., 1996). Nah… jadi bagi teman-teman yang mengalami intoleransi laktosa, tidak perlu khawatir untuk mengkonsumsi yoghurt, sekalipun yoghurt merupakan produk turunan susu. Selayang pandang, di beberapa negara juga tersedua Susu Laktosa-terhidrolisis (LH) yang merupakan salah satu pilihan bagi penderita intoleransi laktosa. LH diproduksi dengan menghidrolisis laktosa dalam susu menjadi glukosa dan  galaktosa dengan bantuan enzim laktase. Kalau di Indonesia ada tidak ya?

Nah, dari ulasan ini dapat kita tarik kesimpulan, bahwa mengkonsumsi susu sapi yang mengandung laktosa tidak berbahaya. Meskipun beberapa orang mengalami intoleransi laktosa dan defisiensi laktase, bukan berarti kita dapat mengeneralisir manusia tidak dapat mencerna laktosa sehingga harus menghindari susu sapi. Susu sapi sehat dikonsumsi sebagai pemenuh nutrien untuk tubuh selama konsumsinya tidak berlebihan. Semoga kita semua semakin bijak dalam menghadapi sebuah informasi, sebelum menyebarluaskannya, pastikan informasi tersebut terbukti secara ilmiah.

Melia Nasution, S.Pt., M.Pt.


Daftar Pustaka

Aminah, S. (2012). Pengaruh Susu bebas Laktosa terhadap Masa Perawatan Pasien Anak dengan Diare Akut Dehidrasi Tidak Berat. Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah Universitas Diponegoro, pp. 1–87.

Boediarso A. Sakit perut berulang. Dalam: Muhyi R, Abumanyu, Soefyani. 2000/ Naskah Lengkap Simposium Nasional Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. Banjarmasin.. h. 59-70.

Donan CG, Chabanet C, Pedone Ch. 1998. Milk-fermented with yogurt cultures and Lactobacillus casei compared with yogurt and gelled milk: influence on intestinal microflora in healthy infants. Am J Clin Nutr; 67: 111-7.

Madry, E., Fidler, E., & Walkowiak, J. (2010). Lactose Intolerance – Current State of Knowledge. Acta Sci. Pol., Technol. Aliment., 9(3), 343–350.

Simakachorn N, Tongpenyai Y, Tongtan O, Varavithya W. Randomized, double-blind clinical trial of a lactose-free and a lactose-containing in dietary management of acute childhood diarrhea. 2004. Int J Med Assoc Thai. 87(6):641-9.

Vessa TH, Marteau Ph, Zidi S, Rambaud JC. 1996. Digestion and tolerance of lactose from yogurt and different semisolid fermented dairy products containing Lactobacillus acidophilus and bifidobacteria in lactose maldigester- Is bacterial lactase important? Eur J Clin Nutr ; 50: 730-3.

Yohmi, E., Boediarso, A. D., Hegar, B., Dwipurwantoro, P. G., & Firmansyah, A. (2001). Intoleransi Laktosa pada Anak dengan Nyeri Perut Berulang. Sari Pediatri, 2(4), 198–204.


Note:

Tulisan ini merupakan media belajar dan berbagi ilmu. Saya sangat terbuka apabila ada tambahan atau koreksi apabila ada informasi yang kurang tepat. Terima kasih.