Tak Ada Judul

benang kusut

Senja menjemput sekelumit orientasi waktu yang ku tebar

Mengerti menggunakannya penuh arogansi dan segenap ragu yang menyelinap

Tak tahu mana yang harus ku bunuh dan yang ku biarkan meliar

Demokrasi waktu mengurung kamar-kamar kewajiban tenggelam melupakan kesingkatannya

Memaksa kepala ini selalu yakin bahwa esok, esok, esok, dan esok masih ada

Menunda hal-hal yang bisa tunai kala itu juga

Demokrasi waktu pula,

Mengurung cemas terlalu rapat, menimbang teramat bimbang

Berdiriku tegak dalam hati yang goyah

Dudukku tenang, kaki ini pandai menahan keinginan menjemput pelarian

Mulut ini menyungging senyuman dibalik cacian cerca

Begitulah suasana mengajari kemunafikan ria

Tak perlu seluruh dunia mendengar ronta

Ada beberapa yang harus dibayar dalam bimbang dan ditimang

Ada beberapa yang didapat dari kelu yang dielu

Terkadang, menjual hati nurani dilakukan

Demi membeli kebahagiaan beberapa yang tersayang

Mari kembali berjalan, seperti seharusnya.

Sajak Siang Ini : Kayuhan penuh Pengharapan

  
Siang ini terik sekali,

Matahari membelangga dunia dengan teliti.

Seberang menanti, seorang yang menginjak senja bernafkah hasil kayuhan kaki.

Ia menanti di seberang tanpa mengeluh sama sekali.

Hingga aku datang binarnya menyala menjemput rejeki.

Stasiun Pekalongan siang ini..

Sekayuh, dua kayuh, tiga kayuh.. Hingga tak terhitung lagi.

Melegamkan kulitnya yang kering ditelanjangi terik matahari.

Tiba di persimpangan kereta api, terkadang pengangkut masa kini tak memberikan semenit untuk melewati.

Ia menghentikan becaknya dan menanti, hingga ada yang berbelas hati memperlambat laju membiarkannya berpindah sisi..

Seringkali aku tak sabar menanti, ketika becak di depanku tiba tiba berbelok berpindah sisi..

Ternyata, untuknya yang mengandalkan kayuhan kaki,

Berpindah sisi bukanlah hal mudah seperti saat kita menarik gas atau menginjak dengan kaki.

Aku menghela penuh iri…

Mereka masih bertahan dengan kerasnya kehidupan ini…

Mengapa sering kali aku mengeluh dengan segala kemudahan yang ku nikmati?

Sejenak lagi mataku berkitar ke sekitar..

Ku lihat tukang tambal ban menikmati semangkuk mie meskipun dihambur debu jalanan..

Apalah, ia tetap bersyukur.

Lalu bagaimana mereka yang di atas sana?

Kadang aku bertanya mengapa mereka tega.

Mereka yang di bawah mencari nafkah dengan tenaga,

Membayarkan pajak penuh harap untuk kehidupan yang berharga.

Tikus tikus itu sungguh tak tahu malu.

Mereka digaji para kumpulan sengsara dan tak perlu kerja memeras otot di bawah panas bak jelaga.

Mereka masih tak cukup dengan rizkinya dan mengambil yang bukan haknya.

Sakit sekali hati ini.

Nasionalisme bahkan bukan hal yang bisa menyelamatkan kesengsaraan kini.

Semuanya berlomba cuci tangan dan belagak tak mengerti.

Atau sengaja acuh tak peduli.

Pelajaran yang ku lihat siang ini…

Demi uang yang kadang hanya ku habiskan untuk membeli makanan ringan dan minuman,

Untuk mendapatkannya ia harus melakukan banyak kayuhan di kungkung terik dan diguyur hujan.

Dudukpun terkadang tak nyaman.. Dibalut plastik dan kain seadanya.

Dan di sisi lain mereka yang duduk di ruang begitu sejuknya,

Mengeluh habis habisan akan rutinitas mereka.

Ah..

Dunia ini sejatinya adalah cermin paling sempurna.

Dimana kita diperlihatkan dan diberikan jalan untuk selalu bersyukur dengan keadaan.

Ya, bagi kita yang berkenan untuk lebih memikirkan.