Apakah kita sudah siap bersama dalam “Kebersamaan”

Sebuah tulisan untuk menanyakan pada diri sendiri, segala hal mengenai Kebersamaan.

Apakah yang ada dibenak kalian ketika mendengar kata itu? 

Menyantap makanan bersama? Tidur bersama? Memberikan kabar? Pergi bersama?

Demikian klasiknya.

Aku yakin setiap orang memiliki definisi sendiri-sendiri menurut idealnya. Akupun memiliki definisi tersendiri menurut idealku.

Kebersamaan bagiku bukan sekedar melakukan aktivitas lahiriah bersama-sama. Jauh dari itu, adalah bagaimana agar bathin kita bahagia dan berjalan seirama.

Lalu,

Bagaimana mengukur apakah kita sudah pantas hidup bersama dalam “kebersamaan yang sehat”?

Hai semuanya, jika kau masih berpikir bahwa keputusan yang kamu ambil semata-mata adalah terbaik menurutmu saat itu tanpa mempedulikan orang terdekatmu yang terkena keputusan itu, sekali lagi. Kau belum siap hidup bersama. Karena hidup bersama membutuhkan tekad dan kecermatan dalam menimbang segala pilihan. Apakah serumit itu? Memang iya. Karena ini bukan sekedar kamu atau aku. Tetapi kita.

Jika kau masih sering melanggar dan merubah kesepakatan tanpa pertimbangan partner. Hal tersebut juga ciri khas orang yang belum siap hidup bersama. Karena kau masih memikirkan dirimu sendiri, memikirkan kepentinganmu sendiri. Kau tidak mempedulikan perasaan yang terhianati. Penghianatan? Ya. Dalam skala ringan dan spele. Tapi ingat, kainpun berasal dari kumpulan helaian benang.

Jika dia adalah orang yang sangat sulit diajak berdiskusi bahkan dengan cara lembut. Jangan terus menerima alibinya bahwa ia tak sabaran. Karena kebersamaan berarti tidak menerima apa adanya dalam konteks wajib membaik bersama berdasarkan kejujuran masing-masing. Pikirkan, bagaimana bisa membaik bersama? Jika kejujuranmu adalah kritik, kejujuranmu adalah perlawanan baginya yang harus ditanggapi dengan amarah?

Apakah kau sering menyesali apa yang kau perbuat pada pasanganmu? Jika iya. Berarti kau harus belajar kembali untuk siap hidup bersama-sama. Menyesal adalah kepastian hidup. Pasti setiap orang pernah merasakannya. Tetapi melakukan sesuatu menaati nafsu dan menggaransikan diri sendiri bahwa minta maaf adalah hal yang mudah, dan sangat percaya bahwa dengan cinta pasanganmu akan memaafkanmu selalu adalah ciri fatal orang yang belum siap hidup bersama. Karena bukan hanya cinta yang memaafkan, tapi cinta juga terkadang menjadi alasan seseorang meninggalkan.

Berpikir sederhana adalah hal baik, namun menyederhanakan semua hal, bukan sebaik kata sederhana. Adakalanya dalam kehidupan, ada hal-hal yang harus kita timbang lebih berat dan lebih lama. Salah satu bukti kedewasaan.

Sekali lagi, tanyakanlah pada dirimu sendiri, tak ada gunanya terus menganggap orang lain yang memojokkan dan menekanmu untuk berubah. Kau tak perlu berubah menjadi siapa-siapa ataupun lebih baik. Jika memang tujuan hidupmu hanya untuk berdiam di titik itu. Tetapi jangan seret orang lain untuk hidup bersamamu, lalu hanya kau jadikan alas tidur duniamu, pendegar amarahmu, atau penikmat keputusan sesaat dan keplinplananmu. Hidup bersama tidaklah SELUCU itu.

Siap hidup bersama bukan berarti melakukan hal sesukamu dan meminta pasanganmu diam. Pasangamu bukan benda mati yang tidak merasakan apapun atas apa yang kau perbuat.

Ketika banyak orang di luar sana berebut untuk berubah lebih baik untuk mendapatkan seseorang, bukankah itu adalah bukti bahwa ia sedang memantaskan dirinya menjadi ideal untuk diajak hidup bersama?? Kesalah oarang-orang kebanyakan adalah, berhenti melakukan proses ini ketika sudah mendapatkan orang yang merka inginkan. Padahal…. Kita hidup berproses, dannperasaan kitapun terus berjalan… Merasa cukup dan menghentikan proses ini, adalah sama dengan kau sedang menghentikan pemikiran pasanganmu bahwa kau siap dan layak diajak hidup bersama-sama.

Banyak orang berbohong dengan klasik “karena pada saat itu, aku takut kau meninggalkan aku.” Namun kenyataannya Sebagian besar dari mereka hidup bersama tanpa mencerminkan sedikitpun ketakutannya untuk kehilangan. Bagaimana bisa???

Sesungguhnya hal itu adalah cara terburuk dalam menghargai seseorang yang kau ajak hidup dalam kebersamaan.

Kebersamaan idealku adalah… Berubah jika memang itu diperlukan, berusaha menahan jika memang itu lebih baik. Menepati kesepakatan sekecil apapun kesepakatan itu. Tidak merubah kesepakatan tanpa persetujuan, Tidak menyedarhanakan semua hal, memikirkan keputusan demi keputusan yang akan diambil terlebih ini adalah tentang hidup orang lain pula. Kebersamaan adalah bagaimana aku bisa berkata lembut mendiskusikan segala kebaikan, karena orang yang siap bersama sadar dan tahu, ia ingin hidup bersama selamanya. Baginya, seminimal mungkin ia harus menyesal dan mencari solusi untuk memaafkan kesalahannya sendiri. Baginya, lebih baik merubah hal-hal kecil namun mempertahankan keutuhan. Karena, tekadang kita melukai, dan apa yang kita upayakan untuk menyembuhkannya tak seperti yang ia butuhkan. Itulah mengapa. Aku lebih senang menanyakan, menyatakan, segala kejujuran dengan cara yang baik pula. Karena aku ingin Tuhan memberikan orang yang juga sudah SIAP BERSAMA. Apakah rumit? Mungkin itu gunakanya volume otak kita 100%, bukan hanya mengikuti ambisi mempermudah diri sendiri.

Apa kalian masih kurang memahaminya? 

Baiklah… Satu hal lagi.

Hal yang termudah untuk mengukurnya adalah kembali menengok kebelakang untuk pelajaran kedepan. Tengoklah, apakah orang yang bersamamu di masa lalu dan gagal, kini bahagia dengan pasangannya? Jika dari sebagian besar mantan pasanganmu bahagia, bahkan jika kau berpikir pasangannya tak jauh lebih hebat darimu, maka tanyalah pada dirimu. Apakah memang kau sudah benar dan sudah baik untuk menjalani hidup bersama-sama? Bahkan sejarahpun sudah memiliki jawabannya. Pertanyaannya, cukup besar hatikah dirimu untuk menerimanya.

Karena kesiapan ini, tidak terpaku usia dan tidak bergantung pada pengalaman atau semacamnya. Kesiapan ini adalah pikiran yang kita ciptakan, dan kebesaran hati untuk lebih menghargai…


Lebih baik menyadari dan segera memperbaiki, sebelum caramu menyiksa orang yang kau cintai, membuatnya pergi dan tak kan kembali. 

Menciptakan dan memelihara kenyamanan, serta ketentraman batin jauh lebih abadi dari pelukan, dekapan, ciuman, atau beribu-ribu kata penyesalan. 

Kebersamaan bukan hanya tentang hal hal sederhana dan mudah di otakmu, tetapi kau lupakan hal yang PALING MENDASAR DAN TERSEDERHANA di dalamnya.

Dusta

Dear …Bagaimana aku harus memanggilnya Tuhan, Aku bahkan menyesal mengenalnya. 
Tuhan, 

Sajak ini ku tuliskan dengan penuh kekecewaan atas takdirMu.

Jika Kau katakan aku bukan wanita beriman, apalah mungkin memang demikian.

Tuhan, mereka berkata bahwa jika aku mampu melaluinya maka aku memuliakan diriku sendiri.

Tidak Tuhan, tak apalah aku tak mulia asal jangan ini yang harus ku rasa.

Tuhan, ia berkata hal ini adalah hal kecil yang tak berarti apa-apa.

Tidak Tuhan, hal ini bergitu mengoyak dan menyiksa.
Tuhan, kini aku bertanya mengapa.

Ketika aku berlutut padaMu penuh pinta dan penuh harap.

Ku minta di setiap hela nafasku seseorang yang mampu menutup luka di dalam hatiku.

Seseorang yang ku ingini memulai semuanya dengan kejujuran tanpa dusta.

Setiap hari aku berusaha melupakan ayah yang melukai hatiku dengan kebohongannya.

Tak sadar aku semakin kuat dan bertambah kuat…

Kuat untuk menerima segala penghianatan dan kebohongan.

Tetapi tidak kali ini Tuhan,

Kau berikan padaku seseorang yang ku kira memulai semua ini dengan kejujuran sama sepertiku.

Ku berusaha menerima segala keadaannya dengan bissmillah meskipun banyak pencela.

Tak urung ku yakinkan bahkan 1000 orang jika mereka ragu akan ketulusan orang itu untuk membahagiakanku.

Ya,

Ternyata mereka benar.

Semua yang mereka katakan itu benar.

Akulah yang salah.
Tuhan, bagaimana nasib hatiku ini? 

Tuhan, bagaimana nasib hidupku ini?

Kebohongannya begitu menyayat dan mengoyak batinku.

Mengorek luka lama tentang segala hal kebohongan masa lalu.
Tuhan, apakah Kau memang bisa menjawab pertanyaanku?
Mungkin ia tak selemah aku,

Mungkin ia berpikir kehilanganku tak apalah.

Selagi ia masih memiliki tumpuan lain daripadaku.
Tetapi aku.

Ketika ikatan suci itu diikrarkan, aku begitu menyerahkan seluruh jiwa dan ragaku.
Kini aku harus berlari kemana.

Orang yang begitu aku kasihi…

Yang ku percayai.

Ternyata menyimpan dusta menjijikan.
Tuhan,

Jujur aku kecewa.

Elegi

  
Dear… You.

Aku tak mampu menghapus segala kebahagiaan yang pernah tumpah memenuhi relung hatiku.

Tapi aku harus mampu merasakannya perlahan kering dan berlalu.

Aku tak mampu berlalu pergi meninggalkan segala apa yang sudah kita bina.

Tapi aku harus mampu bersahabat dengan luka tiap harinya.

Kiranya semua ini bukan sebuah matematika.

Namun, bukan pula dongeng atau sajak belaka.

Aku tak lagi mampu berkata-kata, sebab semua sudah ku pasrahkan untuk menjadi semestinya..

Biarkan aku menjadi lakon yang menjalankan dukanya, seperti dulu ku nikmati manisnya..

Berhari-hari seorang diri di dalam hutan penuh opini… Yang ku dengar hanyalah keluh kesah tanpa pengertian. Sejatinya, yang ku butuhkan bukan seperti yang kau tuduhkan. Tapi ah sudahlah, aku letih membahasnya.

Kini, ku lahap semuanya meski tak lagi berasa.

Hanya menghabiskan waktu yang terlanjur ku ikrarkan.

Elegi ini membuatku terus bahagia, bahagia mampu menahan untuknya bahagia.

Jika aku harus berhenti,

Ku ingin berhenti karena rasa lelahnya.

Atau karena, kakiku patah dan tak sanggup lagi untuk berlari agar tubuhku tak sakit saat kau menyeretku.

Tak apalah, tak ada lagi yang ku ingini dan ingin ku cari.

Ia yang mengasihiku sebegitu dalamnya telah tiada. Lalu dirimu yang ku harapkan bisa menjadi tempatku bersadar ternyata tak seindah yang ku kira.

Aku memang tak pandai bersyukur.

Terimakasih atas kebaikanmu. Adapun, telah ku serahkan hatiku seutuhnya untukmu. 

Boleh kau hancurkan.

Dengan segala cara, kapan saja.

Aku disini, hanya berdiri menjalaninya.. Merasakannya.

Pict from : lediana.wordpress.com

Unspoken Letter For Rosse

  
Dear Rosse,

Apa kabarmu? Ah, rasanya canggung sekali. Bukan prolog yang menarik untuk suratku ini. 

Ku harap kau baik-baik saja disana. Lama sudah tak ku tuliskan beberapa bait kata yang dulu selalu kau rindukan.

Mungkinkah kau masih merindukannya sekarang?

Seperti aku.

Yang merindukan untuk selalu memberimu kebahagiaan. Sepertimu dulu yang tak pernah menghitung bagaimana kebahagiaan kau hujankan dalam kehidupanku yang kering kerontang.

Rosse, apakah kau tidur nyenyak disana? Palung hatiku selalu bergetar tak henti menanyakannya.

Telah ku jawab berulang,

“Ia bahagia di sisiNya.”

Namun, masih saja tak dimengerti. Lalu bagaimana?

Rosse, aku tahu kau melihatku dari sana. Pasti kau tersenyum simpul dengan kehidupanku kini. 

Haha.. Kau meledekku.

Atau meledek siapa?

Hahaha.. Ya… Ya… Ya… Baiklah, ku akui kaulah satu-satunya orang yang tanpa pamrih membangunkanku dari lumpur. Di saat keegoisan begitu berenang bebas tanpa nalar.

Terimakasih. Kau membimbingnya kembali pulang.

Going home.. Stay on your heart.

Rosse, tak apalah jika memang lewat surat ini caraku menyampaikan.

Betapa kerinduan demu kerinduan mulai teranyam kembali mendustai janjiku untuk melupakan kehadiranmu.

Lalu bagaimana?

Rasanya.. Aku lebih senang merindukanmu, karena kau tak bisa menjawab kerinduanku.

Seketika, kau pun tak dapat melukai hatiku.

Aku lelah sekali, aku baru saja berhenti.

Sejak saat aku pamit darimu, aku berlari menyusuri padang..

Berkali kali aku mohon persinggahan, tetapi tiada yang mempedulikan.

Langkah kaki ini terus menuju padamu. Seperti pikiran yang tajam mengharapkan kehadiranmu kembali.

Andai waktu bisa terulang, mungkin aku akan lebih cepat mengatakannya.. Maka semuanya, akan menjadi.. Tak sekedar tulisan.