Tujuan dan Pengakhiran

Tujuan. 
apakah aku memilikinya?
dimanakah tujuan itu?
apakah kini aku sedang mengarungi samudera lepas tanpa tujuan?
mendayung seorang diri... 
image source : velascoindonesia.com

Semakin aku mendekatinya, rasa ngilu ini kian datang menyerang. Akupun tak mungkin bergerak menjauh karena ia adalah tempatku pulang. Seharusnya. Aku kira, ia akan menjadi rumah yang meneduhkan. Rumah yang pertama dan terakhir, tempatku menua dan berbagi keadaan. Hidup adalah tentang menghadapi apa yang terjadi. Masa depan memang sebuah rahasia yang sulit untuk diperediksi. Lalu? Aku pun harus berdamai, jika apa yang ku ingini… tak seperti apa yang terjadi.

Seorang diri. 
Apakah kamu bahagia?
Kamu ingin apa? 
Bagaimana harimu hari ini? 
Apakah berat? Tenang saja... 
kita akan hadapi bersama.
- Begitulah aku, dan aku yang lain.

Mereka kerap mencaciku seolah aku ingin sendiri. Mereka pula terlalu mudah menyimpulkan kehidupan yang tidak mereka jalani. Seperti mudahnya aku menyimpulkan begitu teganya mereka meringkas perasaan dan maksudku hanya dengan sudut pandang mereka sendiri. Ironi.

Terkadang, aku merasa sangat lelah. 
Hingga ingin mati saja.
Tapi aku selalu berkata, 
surga tak menunggumu.
Juga berkata, 
kamu adalah seseorang yang penuh semangat untuk menggapai kebahagiaanmu.

Aku tersenyum kecut. Kadang kehidupan mampu mengubah seseorang. Kadang pesakitan demi pesakitan tak selalu membuat seseorang lebih kuat. Akui saja kerapuhan itu, dengan berdamai dengannya… sejatinya kamu akan melangkah lebih kuat dari sebelumnya.

Selalu ada harapan yang lahir setelah harapan lain terbunuh oleh pembunuh yang sama. 
Jiwa yang bertumbuh dengan harap seringkali menjadi sebab seseorang terjebak dalam kegagalan mengambil keputusan. 
Kamu selalu berharap, pada sesuatu yang akhirnya selalu sama saja. 
Sebetulnya, kamu menumbuhkan harap atau sengaja membangkaikan mereka semua?

Kita hidup bukan untuk mengulang sebuah kesalahan yang sama. Kesalahan mengambil keputusan tentu saja akan menghantui masa depan. Akankah aku benar kali ini? Ataukah aku? aku? aku?

Manusia.
tubuhmu memang sarang ternyaman sebuah keegoisan.
hal paling menyedihkan terjadi daripadamu...
ketika kamu merasa selalu benar... selalu...
ketika kamu merasa benar meski berdusta...
ketika kamu merasa benar meski berkhianat....
ketika kamu merasa benar meski kamu... kamu... kamu...
nyatanya, sebuah dosa bisa menjadi tidak dengan keegoisanmu.
sebuah pahala menjadi hal yang berlebihan untuk dilakukan dengan keegoisanmu.
hatimu itu telah penuh dengan dirimu.
lantas, untuk apa memelihara orang lain lagi?
untuk menyimak bahwa kehidupanmu selalu benar dan benar...
karena pengakuan dosamu... selalu bersamaan dengan TAPI. 

Harus bagaimana lagi… aku menghadapinya, rasanya aku telah meronta dan berteriak sekuat tenaga. tak satupun mendengar teriakan… rontaan… tak ku pinta belas kasih dari kalian karena nyatanya memang tiada.

Akan ku dayung perahu kecil ini sampai akhir… kebocorannya telah dimana-mana…. tanganku yang dua ini tak lagi sanggup menambalnya bersamaan… sementara penumpang lain tertawa-tawa tak apa. Ku dayung perahu kecil ini sampai karam dengan sendirinya… lalu, biarkan aku menyelami samudera yang dingin dan dalam… air perlahan masuk ke tubuhku… memenuhi rongga dadaku… ah, rasanya sesak sekali. Lebih sesak dari tangis-tangisku bertahun-tahun ini… Hingga mata terpejam, dan nyatanya… mungkin itu adalah pengakhiran dari perjalanan ini.