Security?

Image result for security

Halo semuanya! lama tak berjumpa dengan pena ringan tentang kehidupan. Beberapa waktu yang lalu tengah disibukkan dengan agenda menulis dengan pena ilmiah. Sampai saat ini belum selesai, namun… bisa lah istirahat sejenak.

Hilir mudik inspirasi pergi, lalu lalang menghampiri hingga tak kembali. Kali ini, seolah tak ingin mengulang salah kedua kali… ku putuskan menuliskannya dalam pena ringan tentang kehidupan yang mungkin dapat kita maknai.

Hari ini ku lalui dengan beberapa agenda yang tidak berjalan semulus yang aku kira. Namun, semua rintangan terlewati dengan baik tanpa meninggalkan bekas yang berarti. Selepas menyelesaikan agenda harian, aku pergi ke salah satu ATM yang terdapat di salah satu Fakultas di kampusku. Antrian tak mengular seperti biasanya karena mahasiswa-mahasiswi tengah menikmati libur semesternya. Aku segera masuk ke bilik ATM itu, dan bergegas menyelesaikan transaksi. Hingga ku dengar hardikkan yang cukup tegas, “Hoi!!!”

Aku terkejut. wajar saja, sudah lama tidak mengikuti ospek yang biasanya ada adegan hardikkan yang menegangkan. hihihi… Aku segera keluar dari bilik ATM, aku melihat security tengah memanggil seorang pengendara motor yang ternyata memasukki Fakultas melalui jalan yang salah.

Mengapa salah? di Fakultas tersebut, jalan masuk menggunakan one way system alias 1 arah. dan si mas ini memasuki Fakultas melalui pintu keluar. Padahal, saat ia masuk ada mobil yang tengah menuju luar. Untung saja tidak terjadi kecelakaan.

Ok, balik lagi ke hardikan security. Seusai dihardik, si mas-mas pelanggar ini tidak lekas menyadari kekeliruannya dan terus tancap gas. Sehingga pak security kembali menghardik agar dia mendekat ke pos security. Aku yang sudah selesai menyelesaikan transaksi masih berdiri mengamati apa yang terjadi. Setelah hardikan kedua, barulah si mas-mas pelanggar ini putar balik dan mendekat ke pos security. Kemudian security menanyakan,

“Mau kemana, Mas? dari mana?”

Mungkin pertanyaan ini dilontarkan karena apabila ia mahasiswa di kampusku, pasti paham tentang jalan masuk dan jalan keluar. Aku tidak mendengar jawaban dari mas-masnya. lalu security kembali bertanya,

“Apa gak lihat tanda itu? ini jalan keluar. Bukan jalan masuk.” Ujar security masih dengan nada tegas sambil menunjuk rambu-rambu yang ada di ujung jalan tersebut. Sayangnya, aku tidak mendengar si mas-mas menjawab apa. Hanya dari gerak gerik tubuhnya ia seperti tidak begitu antusias dan hanya iya-iya saja. Lalu sudah ingin bergegas putar balik lagi di pintu keluar dan hendak masuk lewat jalan itu lagi.

“Heh! muter kamu. Lewat sana!” Hardik Security. Haha… aku mulai tersenyum. Betul-betul bebal. Lalu mas-mas itu putar balik kembali dan keluar dan masuk melalui jalan masuk yang benar.

Begitulah manusia. Terkadang, baru saja ditunjukkan kesalahannya, jika memang tak ada rasa bersalah, pasti akan mengulanginya kembali. begitulah… jika dia mahasiswa, itu sangat disayangkan karena tindakannya bisa mencelakakan dirinya, dan tentu saja orang lain.

Perangainya sebagai pelanggar peraturan pun sama sekali tak menunjukkan rasa malu. Ternyata, telah menjamur orang-orang yang kehilangan rasa malu bahkan ketika melakukan kesalahan.

dan aku merasa… jangan pernah menyepelekan pekerjaan orang lain. Aku yakin, di dunia ini banyak sekali orang yang meremehkan pekerjaan “Security”. Kecuali security bandara 😀 Padahal security ini jabatan yang tinggi lho. Tugasnya mengamankan, nah ketika pimpinan disitupun mengancam keamanan, security berhak mengambil tindakan. Macam di sinetron-sinetron 😀 Haha… jauh banget ah halunya. Tapi sungguh, tidak bisa disepelekan. Beliau-beliau ini memiliki tugas untung “make us secure” so Beliau berhak mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan. Jadi?

Taatilah peraturan 😀 disiplin… stop hidup serampangan… (apaan sih serampangan ? wkwk..) apalagi jika kamu masih muda 🙂

Sekian.

 

 

Suara Hati Atlanna – Antara aku dan dia, tanpanya

Source : google image search

Kini… saatnya aku betul-betul menyapih perasaan yang tak seharusnya ku utarakan. Jika waktu bisa diulang, takkan ku nodai kepedulianku padamu. Jika memang merasa mengasihimu adalah sebuah anugerah, seharusnya aku cukup menyimpannya.

Aku berhenti menghinakan dan merendahkan diriku dihadapanmu. Berharap pada manusia hanya akan membuatku terus terjatuh dan terseret. Berharap pada manusia hanya membuatku terus kecewa dan menangis.

Aku dihadapkan pada realita,

Apakah aku bahagia?

Ternyata tidak.

Kamu adalah semu yang ku pelihara dalam alam bawah sadarku. Kamu adalah harapan yang ku pintal dari serpihan asa tersisa… Ya, kamu adalah harapan yang muncul atas kekecewaanku. Sehingga aku begitu bernafsu menjadikanmu tumpuanku, harapanku, segalanya dalam hidupku. Pesakitanku, ku labuhkan pada dermagamu, berharap kamu menimangnya dengan kelembutan, menjahit robekan penuh perasaan. Namun ternyata semua hanyalah semu yang ku asuh hingga ia mampu menikamku…

Ya… melukaiku…

Dewasalah…” hanyalah kata dibalik garangnya tombak yang tak henti menghujam tubuhku yang lebam. Ia betul-betul tak berbelas kasih. Meski nampaknya ia begitu lembut dan penuh kepedulian. Berkali-kali aku merintih, memohon belas kasihan… aku sakit… sakit sekali… aku akan mati… tubuhku berdarah-darah… namun ia hanya tersenyum penuh ketulusan, berhenti sejenak, dan ketulusan itu adalah alasan ia menikamkan kembali tombak di jantungku… lebih dalam. Mengulang… dan berulang.

Dalam sakit.. yang sakitnya hampir tak terasa, aku menemukan jawaban. Aku telah bersalah… sangat bersalah.

Harapanmu menghampiriku, bertumbuh dalam hatiku, mengalir dalam nadi… dan menjadi racun untuk tubuhku yang rapuh… perlahan namun membunuh.

Seperti katamu…

Ketika aku mulai merasa tersakiti dan meminta perhatianmu.. merongrongmu… hal hal yang kau anggap seperti anak kecil..

Lalu Kamu memintaku untuk mengerti.

Pernahkah kamu menyelesaikannya?

Kamu selalu memintaku mengerti di akhir, bukan di awal.

Aku bukan mainan atau pemuas, yang bisa kamu hampiri saat senggang dan kamu tinggalkan saat kesibukan datang. Aku bukan seperti itu. Dan tugasku bukan hanya menunggu.

Kamu terus menyuruhku menunggu dan mengandai, semu yang kamu sendiri tak tahu apakah akan seperti itu.

Lalu bagaimana bisa aku merasakannya? Jika ternyata aku lebih dulu hancur dan menjadi debu… aku memberikan semuanya tanpa mengulurnya. Tanpa andai dan nanti. Aku yang seperti ini yang akan kamu dapatkan nanti.

Berhenti mengandai… atau berlindung di balik jika dan nanti.

Hingga waktu…

Waktu membuktikan. Jauh lebih nyata dari perkataan.

Membungkam segalanya.

Terbaik menurutku.. memang bukan terbaik versimu. Tak perlu dipaksakan lagi.

“Bersama… adalah tentang bagaimana kita mengkomunikasikan ketidaknyamanan dan menyelesaikannya… sebelum menjadi pesakitan. Bukan dengan tak ingin mendengarnya, menghindarinya, dan mengakhirinya. Seolah tak terjadi apa-apa. Bersama tidak hanya membahas keindahan dan menghindari bahasan yang memilukan. Bahasan memilukan itu adalah objek yang harus diselesaikan dan akan semakin mengeratkan. Ya… jika kita berhasil melaluinya.”

Kita tak perlu berlari lagi. Tak perlu berpegangan dan saling melukai.

Jangan diteruskan lagi… aku akan sekuat tenaga tidak muncul di hadapanmu. Meskipun sakit, tapi bertahan nyatanyapun semakin sakit.

Aku akan menyapih hubungan ini. Kamupun juga.

Aku menyerah…

Begitu besar harap yang ku tanam dengan lalai terlalu dini.

Begitu rakus ingin ku semai.

Hingga menyebabkan aku begitu terluka dan tak mampu merasakannya lebih lama.

Keindahannya, kebahagiaannya. Sepaket dengan pesakitannya.

Membuatku harus menguburnya, mati di awal.

Aku tak pernah meninggalkanmu.

Sepertihalnya pilihan dirimu yang tak mempertahankanku, berbeda dengan ucapmu.

Tapi kita hidup dengan bukti dan realita, bukan dengan andai dan kiasan bibir belaka.

Atlanna.

26

Source : google image

Khotbah itu terus menggulung-gulung dalam ingatanku

Terasa jelas terus diulang, diperdengarkan oleh kedua indra dengarku

Tak ada lain selain kata yang menyedihkan,

Terasa menusuk gendang telinga

Menembus segala halangan

Mencapai relung dengan cepatnya.

Anak ini semakin liar bertumbuh dalam aliran darahku.

Menghitamkan yang merah…

Memekatkannya…

Sekaligus mengeraskannya.

Hina dan rendahan adalah sepasang kekuatan.

Yang mampu meruntuhkan.

Menjatuhkan…

Meluruhkan segala.

Tak ada cara lain selain menyapihnya.

Sesegera mungkin.

Karena aku ingin ia lepas dariku…

Dari relung jantungku…

Segetiga dalam Senja – Sebuah kisah tentang titik pandanganmu

Ps. It isn’t my own paint

Malam ini Atlanna berusaha menutup matanya dengan berat. Ada beban yang sulit dilepas, namun tak lagi kuat untuk dipertahankan. Mari sejenak mengulik hatinya… jika semesta selalu mengatakan orang ketiga adalah yang bersalah. Bersama Atlanna, aku mengenal sudut pandang lainnya… sudut pandang lainnya bukan sudut pandang kebalikannya 🙂


Aku merasa harus meninggalkannya. Kali ini, aku harus bisa.

Aku berusaha menghimpun, alasan yang dapat melampaui nurani dan nalarku. Aku merasa… aku semakin mencintainya, semakin nyaman olehnya. Sedangkan mencintai adalah alasan utama aku akan merasakan sakit hati. Tidak, aku rasa aku harus segera mengakhirinya. Aku harus segera mencari cara.

Entah apa yang akan terjadi di depan sana, namun aku dan Noah memang seharusnya tidak pernah terjadi. Pada waktu sekarang, waktu yang salah.

Tasha yang tak pernah ku kenal.

Sebelumnya aku hanya mendengar nama dan cerita tentangmu, darinya… dan beberapa dari mereka.

Maaf aku menyusup masuk dalam kehidupanmu.

Entah bagaimana awalnya, dan apa alasanku.

Aku mengenal Noah lebih dahulu daripadamu, meskipun Noah berkilah akulah yang ada di hatinya lebih dulu, semesta tahu kaulah yang memilikinya lebih dulu.

Bodohnya aku… yang membiarkan ia memanjakanku dengan segala perhatian dan kasih sayangnya. Membiarkan dia masuk ke dalam kehidupan yang sebelumnya rapat ku kunci.

Lalu aku meminta Noah untuk lebih menomorsatukanku daripadamu. Sungguh seperti kata mereka, aku memang tak berperasaan.

Noah telah mengingkari kesepakatan yang kami buat. Kesepakatan sederhana untuk bersikap.

Aku rasa, sakit ini adalah yang harus ku bayar karena keserakahanku sebelumnya. Aku tak pernah membenarkan sikap Noah.

Dia pecundang.

Aku benci dengan caranya menyakitimu. Aku benci caranya berkhianat. Sepaket dengan ketidakmampuannya mengambil ketegasan sebagai seorang lelaki. Dan ia menunggu ketegasanku, mengorbankanmu untuk dibohongi.

Sha, aku tak pernah menyukai kesepakatan seperti itu. Meskipun aku tak seputih awan… namun, akupun ingin kamu mendapatkan keadilan.

Noah tak mampu melepasmu. Bukan tak mampu, tapi tak mau. Sehingga… biarkan senja membawaku. Meleburku bersama gelap malam… menghitamkan angan-angan yang sempat ku harapkan. Aku tak pantas berharap di atas pengharapanmu.

Atlanna.


Epilog.

a little pieces of Segetiga dalam Senja. Full story akan diunggah di wattpad : melianasution.

Stay tuned!

Titik 0

Hi dude… listen to me…

“If someone broke your heart, it isn’t mean you can broke others heart to revenge your pain.”

Seseorang merasa ia menyakiti perempuan karena ia tak lagi memiliki rasa akibat pernah disakiti perempuan. Ia terus mengenang deritanya yang membuat hatinya sakit dan membenarkan sikapnya yang menyakiti perempuan lain. Benarkah hal tersebut ?

Ketika seseorang menyakiti hatimu, itu tidak menjadikanmu berhak untuk melukai hati orang lain dengan alasan kamu sedang terluka.

Seseorang yang dewasa tidak akan melakukannya. Dirimu yang sakit itu.. berikanlah waktu. Biarkan semesta yang mengeringkan lukanya. Tetapi keputusanmu, bersenang-senang dan menyakiti perempuan lain takkan pernah benar di mata semesta. Jika kamu ingin membalas, maka balaslah pada siapa pesakitan itu diberikan.

Bagiku, merasa baik-baik saja, baik-baik saja untuk kembali membahas untuk mengambil pelajaran di masa lalu merupakan salah satu pertanda bahwa kita telah menerima. Menerima luka yang mungkin pernah dirasakan di masa sebelumnya. Namun, jika kamu masih kerap berlari… tak ingin membahasnya, merasa tidak nyaman mendengarnya… mungkin kamu harus bertanya apda dirimu sekali lagi, apakah kamu baik-baik saja?

Memulai sesuatu yang baru akan lebih baik ketika kita berada di titik 0. Tidak kurang, dan tidak lebih. Tanpa interverensi masa lalu, ataupun tuntutan masa depan yang pincang dari 1 pihak. Kebersamaan adalah sebuah kesepakatan dari 2 orang yang berada di titik 0, merasa memiliki visi yang sama, dan bersama menyusun cara dan langkah untuk mewujudkan cita-cita bersama. Jadi, jika kamu merasa sakit masa lalumu masih harus dikenang… maka kenanglah sepuasmu sebelum memulai yang baru.

Menjadikan pesakitan masa lalu sebagai pembenaran sikap kita menyakiti orang lain adalah tindakan pengecut.

Memastikan seseorang ada di titik 0 merupakan hal yang penting karena awal akan selalu mempengaruhi akhir. Mengawali sesuatu dengan hal baik adalah ikhtiar untuk mendapatkan akhir yang baik pula.

Untukmu yang sakit hatinya, tak perlu merasa merana atau merasa bahwa dunia sekejap akan sirna.

Kamu hanya perlu menerimanya…

Menerima…

Lalu melaluinya.

We can’t  hurry up love…

Biarkan hatimu, jiwamu… menerima dan menyembuhkan lara.

Jangan memaksanya! Atau berusaha menikmati kelembutan dari orang lain hingga kau berakhir menyakitinya.

Pesakitanmu… tak dapat kau jadikan alasan yang benar saat kamu menyakiti orang lain.

Jika kamu seseorang yang tangguh, kamu akan mengakuinya jika kamu membutuhkan waktu.

Hingga saat titik 0 mendatangimu.

 

Si bebal

D2A94384-0957-45D9-A3FF-08107935E934

Kamu ini bebal.

Sulit diatur,

Seenaknya.

Mana telingamu? Apa setumpul nuranimu?

Harus kali keberapa?

Sampai tiba menjemput sadarmu?

Tak usah terus merongrong kesetiaan.

Yang jelas ia tak punya.

Sampai lalai dengan yang di depan mata.

Kesetiaan nyata! bukan harapan belaka.

Tak bersyarat, tak meminta balas.

Persetan dengan tapi-tapi.

Itu nyatanya.

Kamu ini apa?

Tak perlu berlagak jiwamu rapuh jika hatimu sekuat batu.

Tak perlu berlagak tak mampu dalam kekakuanmu.

Malam ini ku tegak kenyataan.

Sampai ingin muntah.

Apa yang ku ingkari, ku sangkal.

Sejauh mana berlari.

Akan kembali.

Menemui hal yang dihindari.

Memang itu nyatanya.

Mengapa harus memperindah yang tak indah.

Bodoh kau,

Menikmati permukaan seolah telah menyelam sangat dalam.

Terbuailah si bebal.

Lalu tersungkur semakin dalam.

Melepas

Penyesalan yang terus menggerogoti raga

Kegagalan pengendalian batin dan jiwa

Seakan mengiringku pada tanya,

Apakah di depan sana, aku mampu untuk menatanya?

Mereka menyeru…

Bahwa takkan ada yang berganti tanpa kita menggantinya.

Takkan ada yang berubah tanpa kita mengubahnya.

Keyakinanku masih naik dan turun.

Selayaknya iman yang bersangkar dalam raga ini.

Sanubari mendamba kehangatan dan kebahagiaan

Sedang raga enggan memutus dan terlibat kecemasan

Sampai kapan?

Tak letih aku menanyainya…

Namun, tak jua ku mampu menjawabnya.

Semua hanya beputar.

Di tempat semula.

Tak berubah, dan tak bergeser…

Tak terlepas.

E n a m

“I hate you.

But I hate myself more.”

Seseorang di masa lampau pernah menuliskan sebuah ungkapan.

Terimakasih sudah menghibur lalu kabur.

Terimakasih sudah ada lalu tiada.

Kamu tersesat, dengan hutan yang kau ciptakan sendiri.

Kamu terus berjalan semakin dalam, berlari melampiaskan beban.

Kamu pikir, tak apalah kau susuri hutan, itu lebih baik daripada menyelami kesepian.

Kamu tak sadar, kamu semakin dalam dan terperangkap.

Hutan bukan pantai yang memeluk lautmu erat..

Disini gelap, kesunyiannya membawamu semakin dalam. Hingga tak ada lagi suara yang kau dapati selain sendirinya sunyi.

Dan dia yang memancingmu kemari, sama sekali tak nampak. Kau sendiri bukan? Dan kau tak berhak memintanya kembali atau menolongmu.

Merasakan perasaan seperti ini ternyata tidak lebih mudah daripada menjalaninya sendiri.

Bukankah kau sudah kuat berdiri di atas kakimu saat itu?

Mengapa kau melemahkan kakimu, membiarkan korek api yanh begitu kecil menopangmu?

Apa kamu gila?

Apa yang ada di pikiranmu?

Pertahananmu payah. Setelah sekian tahun, kau sendiri membuatnya menjadi remeh temeh belaka.

You bringing down yourself. Perfectly!!

Dasar bodoh.

Kini apa yang harus kau lalui jauh daripada apa yang kau hindari.

Kau berusaha lari dari api untuk masuk ke lautan api.

Kau berusaha memejamkan perih untuk merasakan pedih.

Apa kau ini?

Bangun.

Gunakan kedua kakimu.

Berdiri. Seiring dengan akhir tulisan ini. Lupakan rindumu.

Rindumu itu bodoh. Kebodohan yang utuh dan begitu sempurna tanpa cela.

Kau merindukan kesunyian. Kekosongan dari sebuah permainan.

Getting back to your own rail. And remember who you are. Remember how strong you are.

Broken Concept

I haven’t had time to thank…

My soul always grows every second.

infrequently he died and he grew from the beginning.

Strong … stronger …

They all do. adored me

Because of my life, my firmness, and my self-concept.

Which can not be bought. By others concept.

Broken.

Yes, I am stubborn with all the concepts.

Who predicted it?

I feel my concept is wrong now.

I say while being able to love and be loved … why just be “loved?”

I leave them one by one.

That understands me.

They even know me more than I do.

And then stupidity bring me down lastest.

I’m more confident in new people.

That did not understand my concept at all.

I sound to em right now.

I broke my concept.

I live my life, fully with reality.

Where s the concept?

We have to grow, and leave some part of life. Found the better one… and go on.